Ada suatu paradoks yang terjadi di masyarakat Indonesia yang bermayoritas Islam bahwa antara nilai-nilai etika kehidupan yang terkandung dalam Islam dan tindakan-tindakan sosial masyarakat Indonesia yang tercemin dalam etos, masih menunjukan hubungan kontradiktif. Realitas sosial memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia lebih cenderung mencirikan sikap perilaku yang malas, kurang cerdas, dan tidak jujur ditandai dengan merebaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Perilaku yang menunjukan kontradiktif tersebut telah membawa bangsa Indonesia kejurang kenistaan, tidak dihargai di mata dunia internasional.
Dalam menjelaskan fenomena ini, kita teringat akan pendapat Karl Marx yang memandang bahwa agama sebagai “candu masyarakat”. Marx memandang agama sebagai “candu masyarakat” yang pada akhirnya membawa aliran komunis sangat anti agama. Namun kita tidak pernah memahami apakah gerangan yang membuat Marx berpendapat bahwa agama sebagai “candu masyarakat”, karena perasaan benci yang tak terhingga terhadap ajaran komunis akibat dari penanaman suatu bentuk doktrim oleh para penguasa era lampau di negara ini.
Kritikan Marx terhadap agama lebih diarahkan kepada pemahaman ajaran agama tradisional, ia berpendapat bahwa tekanan agama tersebut pada penderitaan dan kesulitan hidup akan memberikan nilai rohani yang positif jikalau di tanggung dengan sabar, bahkan akan memperbesar individu untuk memperoleh pahala di alam baka. Seperti halnya kekayaan materiil, status duniawi, dan kekuasaan merupakan sebagai ilusi, fana dsb. Jika sikap ini diterima oleh kelas-kelas lapisan bawah yang dengan sungguh-sungguh menerima hal ini, maka makin mengukuhkan sikap pasrah dan pasif sehingga tidak akan terjadinya peningkatan taraf kesejahtraan, dan kemiskinan akan terus berlangsung bagi lapisan bawah.
Agama Islam di indonesia berasal dari golongan Jabariah yang diwakili oleh kaum-kaum Sufi. Aliran ini berpendapat bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Tuhan, manusia tidak memiliki daya dan upaya kecuali menerima dan mengimani apa yang telah Tuhan berikan. Pengajaran agama ini ditekankan kepada pelajaran “fiqh” yang membahas sayarat-syarat dalam beribadah, alhasil, agama dipahami hanya sebatas ritual, zikir, berpuasa, shalat, dan zakat yang lebih cenderung menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Ajaran Islam seperti inilah yang dianggap Marx sebagai ajaran agama tradisional, dan biasa disebut juga sebagai ajaran asketis.
Rupanya masyarakat Indonesia juga sudah berada dalam jangka waktu cukup lama terbuai oleh ajaran-ajaran agama asketis dalam konteks sufisme, yang berorientasi ke akhiratnya lebih tinggi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keduniawian diharamkan. Harta, uang, dan segala bentuk duniawi dianggap sebagai ujian yang bisa meracuni keimanan. Takdir dipahami sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah, kita hanya bisa menerima dengan sabar, sebab dengan demikian akan menambah dan memurnikan nilai keimanan rohani. Di sisi lain, perkembangan masyarakat sudah berada pada tatanan masyarakat yang global, terbuka dan sangat bergantung pada iptek. Agama yang dipahami secara asketis tidak lagi memberikan tuntunan nilai yang bisa membawa kita terhadap realitas sosial yang terjadi.
Dalam kondisi ini Marx sangat cocok menempatkan bahwa agama sebagai “candu masyarakat”. Dan juga dianggap sebagai pembatas untuk mencapai kehidupan duniawi yang lebih maju. Agama tidak ubahnya seperti “rokok” bagi masyarakat pecandu. Dimana, bagi pecandu, rokok merupakan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dan tidak bisa ditinggalkan. Tetapi dalam kehidupannya tidak memberikan kebaikan bagi dirinya maupun bagi masyarakat disekitarnya. Namun, hal tersebut terlalu menyakitkan jika dikatakan demikian, sebab masyarakat Indonesia sebetulnya masih sangat membutuhkan dan taat dalam beragama.
Berbeda dengan agama protestan yang merupakan stimulus kuat dalam menumbuhkan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya. Pengaruh yang meransang ini dapat dilihat sebagai suatu konsistensi logis dan motivasional yang bersifat mendukung secara keseluruhan, baik dari aspek luar dan dalamnya. Sebab, kondisi bangsa Eropa saat itu sedang mengarah kepada budaya kapitalis.
Atas dasar itulah, Asketisme telah mendukung masyarakat Indonesia malas, pasrah dan tidak kreatif. Di lain pihak secara riil masyarakat telah memiliki budaya-budaya yang malas sebelumnya, akibat pengaruh lingkungan alam, perkembangan intelektual, penjajahan dan ketidakmampuannya dalam mengikuti perkembangan zaman. Sistem perekonomian rakyat yang bersifat statis dan tidak mungkin beralih menjadi sistem perekonomian yang dinamis, karena agama adalah nomor satu, sedangkan perekonomian bertekuk lutut kepada agama. sifat masyarakat inilah yang membuat mereka miskin.
oleh karena itu, penanaman modal rasional agama seyogyanya dapat dimulai dan dikembangkan dalam bidang pendidikan. Karena, motivasi-motivasi spiritual harus dijadikan sebagai alat pendorong generasi muda agar belajar lebih giat, kerja keras, berorientasi kepada prestasi dan nilai-nilai positif lainnya. Karena, nasib manusia akan menjadi orang pintar atau bodoh sangat bergantung kepada usaha manusianya itu sendiri, bukan karena takdir Illahi. Melalui pemahaman rasional diharapkan agama dapat menjadi motivator ke arah terbentuknya budaya-budaya positif yang juga bersumber dan didukung oleh budaya-budaya tradisional.
Sehingga akan terjadi hubungan timbal balik yang saling ketergantungan antara motivasi spiritual dengan budaya masyarakat Indonesia yang saat ini sebenarnya sangat memerlukan suatu dukungan dari masyarakat Indonesia itu sendiri agar menjadi negara yang bisa bersaing dengan negara-negara lainnya tanpa menghilangkan peran agama dalam membangun masyarakat statis menjadi masyarakat yang dinamis di era abad ke-21 ini.
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/1873938-agama-dan-rokok/#ixzz1NrSPmbEY
Dalam menjelaskan fenomena ini, kita teringat akan pendapat Karl Marx yang memandang bahwa agama sebagai “candu masyarakat”. Marx memandang agama sebagai “candu masyarakat” yang pada akhirnya membawa aliran komunis sangat anti agama. Namun kita tidak pernah memahami apakah gerangan yang membuat Marx berpendapat bahwa agama sebagai “candu masyarakat”, karena perasaan benci yang tak terhingga terhadap ajaran komunis akibat dari penanaman suatu bentuk doktrim oleh para penguasa era lampau di negara ini.
Kritikan Marx terhadap agama lebih diarahkan kepada pemahaman ajaran agama tradisional, ia berpendapat bahwa tekanan agama tersebut pada penderitaan dan kesulitan hidup akan memberikan nilai rohani yang positif jikalau di tanggung dengan sabar, bahkan akan memperbesar individu untuk memperoleh pahala di alam baka. Seperti halnya kekayaan materiil, status duniawi, dan kekuasaan merupakan sebagai ilusi, fana dsb. Jika sikap ini diterima oleh kelas-kelas lapisan bawah yang dengan sungguh-sungguh menerima hal ini, maka makin mengukuhkan sikap pasrah dan pasif sehingga tidak akan terjadinya peningkatan taraf kesejahtraan, dan kemiskinan akan terus berlangsung bagi lapisan bawah.
Agama Islam di indonesia berasal dari golongan Jabariah yang diwakili oleh kaum-kaum Sufi. Aliran ini berpendapat bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Tuhan, manusia tidak memiliki daya dan upaya kecuali menerima dan mengimani apa yang telah Tuhan berikan. Pengajaran agama ini ditekankan kepada pelajaran “fiqh” yang membahas sayarat-syarat dalam beribadah, alhasil, agama dipahami hanya sebatas ritual, zikir, berpuasa, shalat, dan zakat yang lebih cenderung menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Ajaran Islam seperti inilah yang dianggap Marx sebagai ajaran agama tradisional, dan biasa disebut juga sebagai ajaran asketis.
Rupanya masyarakat Indonesia juga sudah berada dalam jangka waktu cukup lama terbuai oleh ajaran-ajaran agama asketis dalam konteks sufisme, yang berorientasi ke akhiratnya lebih tinggi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keduniawian diharamkan. Harta, uang, dan segala bentuk duniawi dianggap sebagai ujian yang bisa meracuni keimanan. Takdir dipahami sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah, kita hanya bisa menerima dengan sabar, sebab dengan demikian akan menambah dan memurnikan nilai keimanan rohani. Di sisi lain, perkembangan masyarakat sudah berada pada tatanan masyarakat yang global, terbuka dan sangat bergantung pada iptek. Agama yang dipahami secara asketis tidak lagi memberikan tuntunan nilai yang bisa membawa kita terhadap realitas sosial yang terjadi.
Dalam kondisi ini Marx sangat cocok menempatkan bahwa agama sebagai “candu masyarakat”. Dan juga dianggap sebagai pembatas untuk mencapai kehidupan duniawi yang lebih maju. Agama tidak ubahnya seperti “rokok” bagi masyarakat pecandu. Dimana, bagi pecandu, rokok merupakan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dan tidak bisa ditinggalkan. Tetapi dalam kehidupannya tidak memberikan kebaikan bagi dirinya maupun bagi masyarakat disekitarnya. Namun, hal tersebut terlalu menyakitkan jika dikatakan demikian, sebab masyarakat Indonesia sebetulnya masih sangat membutuhkan dan taat dalam beragama.
Berbeda dengan agama protestan yang merupakan stimulus kuat dalam menumbuhkan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya. Pengaruh yang meransang ini dapat dilihat sebagai suatu konsistensi logis dan motivasional yang bersifat mendukung secara keseluruhan, baik dari aspek luar dan dalamnya. Sebab, kondisi bangsa Eropa saat itu sedang mengarah kepada budaya kapitalis.
Atas dasar itulah, Asketisme telah mendukung masyarakat Indonesia malas, pasrah dan tidak kreatif. Di lain pihak secara riil masyarakat telah memiliki budaya-budaya yang malas sebelumnya, akibat pengaruh lingkungan alam, perkembangan intelektual, penjajahan dan ketidakmampuannya dalam mengikuti perkembangan zaman. Sistem perekonomian rakyat yang bersifat statis dan tidak mungkin beralih menjadi sistem perekonomian yang dinamis, karena agama adalah nomor satu, sedangkan perekonomian bertekuk lutut kepada agama. sifat masyarakat inilah yang membuat mereka miskin.
oleh karena itu, penanaman modal rasional agama seyogyanya dapat dimulai dan dikembangkan dalam bidang pendidikan. Karena, motivasi-motivasi spiritual harus dijadikan sebagai alat pendorong generasi muda agar belajar lebih giat, kerja keras, berorientasi kepada prestasi dan nilai-nilai positif lainnya. Karena, nasib manusia akan menjadi orang pintar atau bodoh sangat bergantung kepada usaha manusianya itu sendiri, bukan karena takdir Illahi. Melalui pemahaman rasional diharapkan agama dapat menjadi motivator ke arah terbentuknya budaya-budaya positif yang juga bersumber dan didukung oleh budaya-budaya tradisional.
Sehingga akan terjadi hubungan timbal balik yang saling ketergantungan antara motivasi spiritual dengan budaya masyarakat Indonesia yang saat ini sebenarnya sangat memerlukan suatu dukungan dari masyarakat Indonesia itu sendiri agar menjadi negara yang bisa bersaing dengan negara-negara lainnya tanpa menghilangkan peran agama dalam membangun masyarakat statis menjadi masyarakat yang dinamis di era abad ke-21 ini.
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/1873938-agama-dan-rokok/#ixzz1NrSPmbEY
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !