Pada abad 12 M, sekte Ismailiyah yang didirikan Hassan Sabbah berpusat di bukit Alamut-Samarkand (Iran) adalah sekte “para pembunuh” yang paling ditakuti di segenap imperium Islam. Namun, mendadak sekte “teroris” ini jadi sekte yang paling toleran, gemar dengan musik dan puisi sufi, setelah pengganti Hasan Sabah membaca “kitab rahasia” berupa puisi-puisi rubayat (puisi empat baris) karya Omar Khayyam.
Hassan Sabbah adalah tokoh mubaligh Islam yang dikecewakan secara politik dan ekonomi oleh sultan Islam pada masa itu. Dengan dendam yang membara ia merekrut orang-orang gurun menjadi pengikutnya. Ia melarang pengikutnya untuk menikmati segala macam jenis musik, puisi, dan seni lainnya. Ia membuat mereka menjadi pasukan teror berani mati dengan semangat “jihad kecil” — membunuh orang-orang yang tak sepaham dengannya.
Kabarnya, sebelum “pasukan terornya” itu dikirim untuk membunuh, mereka disuruh menghisap hasshis (opium), lalu dalam keadaan setengah teler, Hasan Sabah menampilkan para perempuan penari perut sambil berkata: “Saat ini kau sedang ada di surga, dan itulah para bidadari yang akan menyambutmu setelah kau mati sahid nanti.” Menurut, beberapa ahli sejarah dari Eropa, dari kata hasshis itulah kata assasin (pembunuh) itu berasal.
Hassan Sabbah
Ada beberapa ahli sejarah yang menyatakan bahwa tokoh “Hassan Sabbah” itu hanyalah fiktif saja dan diciptakan oleh kaum Khawarijj. Tapi, ada juga yang menyatakan bahwa tokoh yang juga dikenal sebagai ahli herbal ini benar-benar ada secara historis (bisa dilihat di Wikipedia).
Yang jelas keberadaan sekte Ismailiyah memang benar-benar ada. Keterlibatan beberapa tokoh sufi besar dalam sekte Ismailiyah ini seperti Omar Khayam (yang juga penemu Aljabar dan ahli Astronomi) serta Al-Hallaj tercatat dalam kronik sejarah. Kabarnya, alasan sebenarnya Al Hallaj dihukum mati bukan karena seruan kontroversinya: “Ana Al Haqq” (Aku adalah Kebenaran Mutlak), tetapi karena ia difitnah telah berkomplot dengan sekte Ismailiyah untuk menggulingkan sultan.
Selain itu benteng di bukit Alamut juga pernah dicatat oleh Marco Polo dalam perjalanannya ke Cina. Beberapa catatan juga pernah mengungkapkan bahwa Sultan Solahuddin Al-Ayubbi — pahlawan Perang Salib dalam Islam — pernah dikirimi belati di tempat tidurnya oleh pengikut Hassan Sabbah.
Yang menarik adalah proses transformasi sekte Ismailiyah dari sekte radikal dan tukang teror, menjadi sekte sufistik yang lembut dan sangat toleran. Kabarnya, setelah Hasan Sabah meninggal, ia mengangkat salah satu pengikut setianya sebagai Imam Pengganti. Sang pengikut ini pun sama keras seperti sang Pendiri.
Namun, seiring dengan berlalunya waktu, suara-suara untuk melawan penekanan dogmatik keagamaan mulai muncul di dalam sekte Ismailiyah — meski mungkin masih terdengar sayup-sayup. Hingga suatu ketika “Sang Pembebas” itu pun datanglah.
Sang Pembebas itu — yang juga bernama Hassan, atau yang lebih dikenal oleh para sejarawan Iran dengan sebutan Hassan II — tak lain adalah anak dari Imam Pengganti sekte Ismailiyah setelah kematian Hassan Sabbah. Suatu hari ia memasuki kamar rahasia dari Imam Pendiri, Hassan Sabbah. Dan pada suatu ceruk di dinding yang ditutupi jeruji besi ia menemukan satu kotak yang berisi kitab rahasia karya Omar Khayyam — sahabat karib dari Hassan Sabbah sejak muda.
Setelah seminggu Sang Pembebas itu membaca kitab rahasia karya Omar Khayyam, maka ia pun mulai mengetahui sejarah berdirinya sekte Ismailiyah yang selama ini selalu disembunyikan oleh ayahnya. Sebab, di pinggir-pinggir halaman kitab rahasia itu dicatat berbagai kronik hidup Omar Khayyam — termasuk riwayat persahabatannya dengan Hassan Sabbah.
Namun, yang mampu membuka kesadaran Sang Pembebas adalah puisi-puisi “rubayat” yang terdapat dalam kitab rahasia Omar Khayyam tersebut. Puisi-puisi yang sekilas terlihat sederhana, bahkan cenderung skeptis itulah yang membebaskan Sang Imam dari doktrin “para pembunuh” sekte Ismailiyah di Bukit Alamut.
Lalu, suatu pagi yang cerah, ia kumpulkan semua pengikutnya di tengah-tengah benteng Alamut yang dibangun serupa labirin dan berkata: “Mulai saat ini, kita semua tak lagi diwajibkan shalat, karena shalat mengandaikan bahwa Tuhan itu terpisah dari diri kita, padahal bagaimana mungkin Dia bisa terpisah?
“Mulai saat ini, tak ada lagi kewajiban ritual bagimu. Ibadah bukanlah kewajiban, tetapi sebuah perayaan. Karena saat ini kita memang sudah berada di dalam surga-Nya.”
Maka, mulai saat itu, musik dan puisi — yang sebelumnya diharamkan — dihalalkan bagi para pengikut Ismailiyah. Dan, itulah pula sebabnya, sekte Ismailiyah hingga saat ini masih dianggap sekte sesat di dalam Islam.
Jadi, jika saat ini tafsir tentang ajaran Islam cenderung menjadi radikal secara politik, suka pada teror dan kekerasan dalam praksisnya, maka mungkin para penafsir itu telah terinspirasi dan melanjutkan saja ajaran dari Hassan Sabbah. Padahal, hal itu telah ditransformasi oleh Sang Pembebas, putra dari Imam Pengganti Hassan Sabbah, setelah membaca kitab rahasia karya Omar Khayyam.
Berikut beberapa puisi rubayat karya Omar Khayyam:
Bukan kau atau aku yang tahu rahasia kekal ini,
Bukan kau atau aku yang bisa membaca teka-teki ini.
Yang kita perselisihkan hanya sisi tabir sebelah sini,
Jika tabir tersingkap, kau dan aku sudah tak ada lagi.
Lingkaran tempat aku datang dan pergi
Tak berketentuan awal dan akhirnya.
Tak seorang bisa mengerti perkara ini:
Dari mana kita datang dan ke mana pergi.
Mereka yang tahu lingkaran hakikat dan syariat
Adalah pelita bagi penuntut ilmu dan umat.
Namun mereka sendiri tak bisa menghindar dari gelap,
Mereka mendongeng, lalu tidur dengan lelap.
Tanyamu: “Apa makna bentuk fana ini sebenarnya?”
Jika diungkapkan, maka panjanglah ceritanya.
Intinya: Inilah bentuk yang hadir dari samudera
Dan dalam sekejap akan kembali ke dasar samudera.
Garis hidupku adalah meneguk anggur dan bersuka ria,
Bebas dari percaya dan ingkar adalah keyakinanku.
Kutanya Mempelai-Nasib: “Siapa teman hidupmu?”
Jawabnya: “Teman hidupku adalah hatimu yang gembira.”
(Dikutip dari Rubayat Omar Khayyam terjemahan Abdul Hadi WM)
Dan, yang lebih menarik lagi, sejak transformasi kesadaran “Sang Pembebas” setelah membaca kitab rahasia Omar Khayyam, kabarnya pengikut sekte Ismailiyah jadi penggemar minum anggur (wine) dalam arti harfiah. Biasanya dalam puisi-puisi sufistik idiom “anggur” adalah simbol makrifat — simbol penyatuan Ilahi yang terlarang diungkap secara syari. Namun, sejak Sang Pembebas menyatakan kepada pengikutnya bahwa mereka telah berada di dalam surga, sementara menurut Al Quran di surga tidak diharamkan minum anggur, maka para pengikut sekte Ismailiyah pun mulai terang-terangan minum anggur. Yah, agak mirip kisah Yesus yang minum bersama bersama 12 muridnya di perjamuan terakhir.
Setelah membaca kisah transformasi sekte Ismailiyah dan “Sang Pembebasnya”, saya jadi ingat kisah NU dan Gus Dur. Kita sudah sama mahfum bagaimana peran “orang-orang NU” yang dimobilisasi dalam pembantaian massal sekitar 1 juta anggota PKI (atau orang yang diduga menjadi anggota PKI) tahun 1965. Itulah sebabnya, Gus Dur ketika menjadi president RI ke-4 telah meminta maaf soal tragedi mengerikan itu. Ia juga berniat mencabut TAP MPR tentang pelarangan ajaran Marksisme dan Leninisme. Selain itu, pada masa NU dipimpin Gus Dur inilah bibit-bibit liberalisme Islam disebar di Indonesia. Kita sekarang mengenal bagaimana tokoh-tokoh muda NU seperti Ulil Abshar Abdala dianggap sebagai pemikir Islam yang sangat liberal di negeri ini, sehingga FPI pun sempat menghalalkan darahnya.
Sang Pembebas itu, Gus Dur, juga menerobos banyak “pakem” yang ada dalam tafsir Arabian Islam: ucapan Assalammualaikum diganti Selamat Pagi/Siang/Malam, berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel, menjadi ketua Simon Peres Foundation di Israel, menyenangi musik klasik karya Beathoven, mengunjungi Vatikan untuk bertemu Paus, dsb. Sampai saat ini saya belum mengenal ulama Islam yang ‘senekat’ dan ‘sebebas’ Gus Dur ini. Tapi, tentu saja, Gus Dur belum terlalu nekat untuk meniadakan kewajiban shalat dan menghalalkan minum anggur bagi kalangan Nahdiyin. Saya berpikir Islam di Indonesia saat ini membutuhkan lebih banyak lagi Sang Pembebas dari dogma-dogma sempit agama yang cuma menghasilkan para pion-pion “politik” dan preman berjubah yang fanatik ala Hassan Sabbah.
Sumber : annunaki.wordpress.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !