Wisatawan menyebut Danau Kelimutu sebagai keajaiban alam. Sementara masyarakat setempat percaya bahwa danau ini dihuni arwah orang yang sudah meninggal. Tak hanya indah, Kelimutu juga kaya legenda dan pesona magis yang berasal dari budaya masyarakat sekitarnya, membuat yang pernah mengunjunginya ingin kembali ke sana.
Annette termenung di atas tangga. Bersama suaminya, dia duduk terdiam, menikmati heningnya pemandangan pagi dari puncak Gunung Kelimutu. Ini kunjungannya yang ketiga. Kelimutu tak pernah dilewatkannya setiap kali turis asal Belanda ini datang ke Indonesia. Baginya, mengunjungi Kelimutu seolah menjadi ritual tahunan. “Saya merasakan pesona magis yang kuat pada tempat ini. Semacam misteri yang tak terpecahkan,” alasannya ketika ditanya kenapa selalu datang kemari.
Pesona magis ini pula yang menarik Sebastian Onga mengunjungi Kelimutu meskipun dengan alasan yang berbeda. Tiga tahun silam, anaknya yang masih balita meninggal dunia setelah terkena diare. Kematian balitanya tentu menyedihkan hati warga Desa Moni ini. Namun sebagai bagian dari masyarakat adat Ko’anara dia percaya bahwa arwah anaknya akan menghuni salah satu danau di kawah Gunung Kelimutu. Itu sebabnya dia kerap datang berziarah, untuk menyakinkan dirinya bahwa arwah anaknya baik-baik saja. Kunjungan ini juga berarti menguatkan kembali ikatan cinta kasihnya kepada buah hatinya.
Lahirnya mitos
Nama Kelimutu mendunia sejak tiga abad lalu, saat pendudukan kolonial Belanda di nusantara. Meskipun tak banyak, ada saja orang Belanda dan Eropa yang mengunjungi Kelimutu. Pesona Kelimutu terletak pada tiga danau warna yang menghuni kawah gunung setinggi 1600 m ini. Ketiga danau ini memiliki warna yang berbeda, dan selalu berubah secara berkala. Di tahun 1960-an, warna itu adalah putih, hijau, dan biru. Ketika saya mengunjunginya di awal 1990-an, warnanya menjadi hitam, hijau terang dan merah kecoklatan. Namun kini sudah menjadi hitam, hijau kebiruan, dan biru kehitaman.
“Perubahan warna ini diperkirakan terjadi karena perubahan kandungan mineral yang terdapat di dalam danau,” kata Usmar Baharmin, lelaki yang sudah puluhan tahun bekerja di Pos Pengamatan Gunung Api Kelimutu. Namun dia tak bisa menyebutkan mineral apa saja itu, karena penelitian tentang hal itu masih terbatas. Menurutnya, pernah ada dua orang asing mencoba meneliti air danau dengan menurunkan sebuah perahu ke danau di kedalaman sekitar 50 m. Namun keduanya raib entah kemana.
Penjelasan Baharmin mungkin bisa memuaskan keingintahuan Annette dan wisatawan lainnya. Namun tidak bagi penduduk setempat seperti Sebastian Onga dan Barnabas. Apalagi banyak kisah misteri yang menyelimuti kehidupan danau. Mereka lalu mencari jawab keajaiban Kelimutu sejak berabad lalu, jauh sebelum ilmu pengetahuan berkembang, dan melahirkan aneka mitos dan legenda yang unik dan menawan.
Sebuah legenda yang mereka percayai adalah Kelimutu sebagai danau para arwah. Menurut masyarakat adat Ko’anara –penduduk asli yang menghuni desa-desa di kawasan Gunung Kelimutu—ada tiga jenis arwah orang mati. Yaitu arwah mereka yang berbuat kebaikan di dunia, arwah para pendosa dan penjahat, serta arwah anak-anak dan remaja yang masih bisa mendapatkan pengampunan di akhirat. Ketiga jenis arwah ini menempati tiga danau di kawah Kelimutu. Danau hitam dihuni oleh arwah para pendosa, danau hijau untuk arwah anak-anak, dan danau merah untuk arwah orang suci. Sebelum menuju surga atau neraka, arwah ini akan menunggu di ketiga danau.
Untuk menguatkan legenda yang ada, penduduk lalu mencari penjelasan logis dengan menghubungkan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Seperti yang dilakukan Barnabas, pemandu wisata sekaligus penjual minuman di puncak Kelimutu. “Danau putih itu berubah menjadi hitam saat terjadi pemberontakan PKI tahun 1965, karena banyak orang jahat yang dibunuh,” kisahnya. Dia juga menghubungkan perubahan warna danau hijau menjadi merah saat terjadi pembunuhan massa PDI tahun 1996 lalu, ketika banyak orang tak berdosa menjadi korban.
Legenda Kelimutu tak lepas dari keberadaan Desa Adat Moni dan masyarakat adat Ko’anara sebagai penghuni pertama tanah leluhur ini. Mereka adalah keturunan suku bangsa Lio yang banyak tersebar di Kabupaten Ende. Orang Ko’anara mendiami desa-desa di pucuk gunung seperti Mboti dan Pome, di sepanjang jalan raya seperti Moni, Wolowaru, hingga ke pedalaman yang jauh di Potu, Woluara, Jopu, Wolojita, dan Nggela. Ada pula yang tinggal di kota, bahkan di luar pulau.. Keterikatan pada tanah leluhur membuat mereka selalu kembali tatkala digelar upacara adat. Tentu saja sambil membawa upeti seperti babi, kerbau, dan kuda, yang melambangkan kesetiaan sekaligus keberhasilan mereka hidup di rantau.
Konon, orang Ko’anara adalah keturunan jin, karena nenek moyangnya menikah dengan putri dari bangsa jin. Mereka kemudian disebut inne amma (ibu bapak), dan menurunkan orang-orang Moni. Itu sebabnya penduduk Kelimutu percaya memiliki kekuatan spiritual yang besar, sehingga berbagai upacara adat yang digelar penuh dengan nilai magis.
Inne-amma ltinggal di sauriyah, rumah adat yang terbuat dari kayu. Kini situs rumah adat ini masih bisa kita saksikan di Desa Moni, yang menjadi pusat kebudayaan Ko’anara. Di sauriyah tinggal beberapa keluarga tetua adat. Para tetua adat pun sering berkumpul di sini. Namun mereka menggunakan rumah keda yang berada di depan rumah adat, untuk bermusyawarah. Misalnya, saat akan menggelar upacara adat.
Makam leluhur orang Ko’anara juga terdapat di kompleks situs. Jalan menuju makam berupa batu-batuan yang ditata mirip anak tangga, dan melambangkan tingkatan masyarakat Ko’anara di masa lalu. Batu pertama melambangkan pintu gerbang pertama.. Sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur, pengunjung biasanya meletakkan sesaji berupa rokok di sini. Batu terakhir merupakan jalan menuju pimpinan tertinggi Ko’anara, sang inne-amma.
Kini, keturunan inne-amma menghuni kuburan umum jika meninggal. Namun beberapa keluarga tetua adat masih ada yang mengawetkan tulang-belulang kepala keluarganya jika meninggal. Tulang belulang ini disimpan di sebuah peti yang tertutup, lalu diletakkan di rumah baku bersama barang-barang berharga seperti gading gajah, emas, perhiasan, atau pakaian. Namun raibnya beberapa barang berharga dan sepasang tulang lelaki-perempuan berumur ratusan tahun, membuat kebiasaan ini mulai ditinggalkan.
Tarian hujan
Mayoritas orang Ko’anara hidup dari bertani. Tanah di kaki gunung Kelimutu amat subur. Tak hanya menumbuhkan padi, ubi, dan jagung, tapi juga coklat, cengkeh, nila dan moke. Sayangnya hal ini tak mampu mengangkat ekonomi penduduk setempat. Kemiskinan merajalela akibat angka kelahiran yang tak terkendali dan keterbelakangan. Kucuran dana bantuan dari swasta dan pemerintah kerap diberi aparat pemerintahan setempat. Air sebagai sumber kehidupan yang melimpah pun sulit didapat, karena pengelolaannya tak efisien. Maka, hujan menjadi satu-satunya harapan mereka.
Meskipun puluhan ribu turis datang setiap tahun terhipnotis oleh keindahan Gunung Kelimutu, namun berkah pariwisata ini hanya bisa dinikmati pemilik losmen, restoran, dan modal saja. Mayoritas penduduk cuma menjadi penonton sambil sesekali menawarkan kopi atau teh panas seperti Barnabas. Mungkin itu yang membuat mereka begitu antusias setiap kali digelar upacara adat. Mereka berharap arwah nenek moyang akan membantu mereka. Mayoritas pemeluk agama Katolik ini memang memiliki ikatan yang kuat dengan arwah leluhur.
Salah satu upacara adat yang penting adalah uoacara memohon hujan. Tatkala kemarau amat panjang, bencana kelaparan pun siap mengancam. Lumbung padi desa tak selalu bisa diharapkan. Maka para tetua adat segera berkumpul di rumah keda untuk menentukan waktu upacara. Bambu berisi beras dan dilumuri darah babi segera dibakar di dalam tungku. Jika bambu meledak dan meninggalkan serpihan yang rapi, maka upacara segera digelar. Jika tidak, pembakaran bambu akan diulang lagi.
Ketika upacara dimulai, kepala adat akan mengisi saga, tugu persembahan dengan sesaji berupa bunga, tembakau, dan dupa. Begitu dupa terbakar, kepala adat membaca mantra diikuti oleh pemukulan dhou dha, alat musik dari kayu. Lalu para gadis segera menari, menantang teriknya mentari di siang bolong. Tarian berhenti ketika hujan mulai turun. Konon, tarian hujan inilah yang membuat tanah Kelimutu tetap subur, dan para arwah kerasan bersemayam di tiga danaunya, karena airnya tak pernah kering. (pernah dimuat di majalah familia, mei 2004).
Sumber : othervisions.wordpress.com
nice artikel friend.
ReplyDelete