mas template
Headlines News :
mas template
Home » » Kisah Orang Jawa di Kaledonia Baru (Nama Wakidjo Diubah Jadi Vaquijot)

Kisah Orang Jawa di Kaledonia Baru (Nama Wakidjo Diubah Jadi Vaquijot)

Written By maskolis on Tuesday, 26 July 2011 | 07:50

Selain di Suriname, ribuan orang Jawa tercatat berada di Kaledonia Baru. Sebuah kepulauan di Samudera Pasifik bagian selatan. Mereka adalah keturunan para pekerja kasar yang didatangkan secara bergelombang sejak 1896. Satu keluarga dari sana, baru-baru ini mengunjungi kenalan lamanya di Semarang. Wartawan Suara merdeka, Yoseph Harry W dan Anton Sudibyo melaporkan.

jawa kaledonia baru

Rumah Drs Soegito, dosen bahasa Prancis Unnes, di Jalan Raya Dewi Sartika 83 Sampangan Gajahmungkur, Semarang, baru-baru ini mendadak ramai. Puluhan bekas mahasiswanya yang kini telah mengajar di beberapa SMA di Semarang berkumpul. Tawa dan canda mewarnai pertemuan itu. Maklum telah sekian lama mereka tak bertemu. Namun itu bukan reuni biasa. Mereka sedang menyambut tamu spesial dari negeri seberang. Pasti baru sedikit dari jutaan orang Indonesia yang pernah menginjakkan kakinya di sana.

Sekitar pukul 11.00, sebuah van putih melambat. Semua mata langsung terarah pada mobil yang parkir tepat di depan rumah itu. Soegito menyeruak ke depan. Wajahnya sumringah, kedua tanganya terbuka penuh gairah. ”Bonjour,” sapanya. Sapaan akrab dalam bahasa Prancis itu dibalas serupa hampir berbarengan oleh beberapa orang yang baru saja turun dari van itu. Tak kalah cerah air muka mereka. Lalu, layaknya sebuah keluarga di hari raya, pertemuan itu diawali dengan acara salam-salaman berkeliling. Beberapa patah kata dalam Prancis dan tawa kecil mewarnainya.

Yang baru saja datang adalah sepasang suami istri, Andre Vaquijot dan Saminah Evelyne Vaquijot. Mereka baru saja menempuh perjalanan udara sembilan jam dari Nouvelle Caledonie atau Kaledonia Baru bersama putri keduanya Ivana, menantu Paul Siat dan empat cucunya, Helena Wahyuni (22), Lea Ayu (20), Sophie Samina (18), Marie Kadriati (16), dan Piere Agus (12).

Meski berasal dari negeri nan jauh di mata, keluarga Vaquijot ternyata memiliki ciri fisik tak berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. Kulit sawo matang, rambut ikal, dan tubuhnya sebesar rata-rata orang Indonesia. Bahkan khusus Evelyne dan suaminya, cukup fasih bahasa Indonesia, terutama Jawa Ngoko. “Piye kabare apik-apik wae to,” kata Evelyne.

Kepada keluarga dan mantan mahasiswanya, Soegito kemudian mengenalkan bahwa tamunya itu merupakan keturunan asli Jawa yang tinggal di Kaledonia Baru sejak 1896. Kedatangan mereka ke Semarang, terutama di rumah Soegito, merupakan kali kedua setelah pada 2005 pernah berkunjung pula bersama 33 warga Kaledonia Baru keturunan Jawa lainnya. Berkunjung ke Indonesia bagi mereka adalah sarana melawan lupa. Mereka merasa masih sebagai orang Jawa yang tak boleh lupa pada asal usulnya. Terkhusus kali ini, keluarga Vaquijot ingin memperkenalkan pada anak dan cucunya akan kampung halaman leluhurnya.

“Agar anak cucu selalu ingat bahwa kakek nenek mereka dulu adalah orang Jawa,” ujarnya. Untuk menjawab keinginan keluarga Vaquijot, Soegito pun berupaya menggelar penyambutan yang maksimal. Bersama istrinya, Niken Rahayu, pensiunan dosen Undip, ia mengemas sebuah acara yang kental nuansa Jawa.

Siang itu, khusus dipersembahkan beberapa lagu-lagu Jawa yang dimainkan mahasiswa Soegito. Di antaranya tembang ”Suwe Ora Jamu” dan ”Cublak- cublak Suweng” dalam iringan gitar yang rancak. Betapa senang Evelyne sekeluarga mendapat sambutan begitu rupa. Tak segan-segan, keluarga itu ikut bergoyang menikmati alunan irama tradisional Jawa tersebut.

Apalagi ketika hidangan khas Jawa mulai tersaji. Tak membuang waktu, keluarga Evelyne pun menyikat habis berbagai menu yang terhidang. Di antaranya lunpia, getuk, sate, sop, dan gudeg. “Atiku tetep Jowo, ilatku yo tetep Jowo,” kata Evelyne sembari mengunyah lunpia yang digemarinya.

Masih Njawani

Evelyne bercerita bahwa ia masih terlihat njawani karena masyarakat Jawa di Kaledonia Baru berupaya tetap menjaga tradisi Jawa. Meski terlahir di Noumea, Kaledonia Baru 14 Desember 1938, Evelyne mendapat didikan keras dari orang tuanya untuk tetap memegang teguh kejawaan. Dia pun menurunkan ajaran itu kepada anak cucunya.

Setiap 16 Februari, masyarakat Jawa di sana memperingati hari pertama kedatangannya dengan nyekar di Tugu Centainer Valon-Du-Gaz, Noumea. Tugu tersebut merupakan tempat pertama kali orang Jawa menginjakkan kaki di Kaledonia Baru pada 1896. Usai nyekar dilanjutkan dengan acara kumpul-kumpul di wisma khusus Jawa. Di situ digelar berbagai mata acara dari bazar makanan Jawa hingga pertunjukan seni budaya. “Kami masih menggunakan adat Jawa dalam merayakan kelahiran dan kematian seperti mitoni, nyelapan, matang puluh, dan nyewu,” ucap Evelyne.

jawa kaledonia baru

Saat ini, menurut Evelyne, ada lebih 7.000 orang Jawa di Kaledonia. Sekitar 2.000 di antaranya masih tercatat sebagai warga negara Indonesia. Sementara, sisanya sudah beralih ke kewarganegaraan Prancis. Mereka tersebar di berbagai kota di Kaledonia Baru. Komunitas Jawa terbesar di kota Noumea. Karena lama tinggal dan beranak pinak, akulturasi budaya pun tak terhindarkan. Terutama disebabkan perkawinan dengan bangsa-bangsa lain baik pribumi, Prancis, maupun bangsa Asia lain seperti China dan Jepang.

Hal yang paling kentara adalah soal nama. Evelyne menyebut, nama Vaquijot sebenarnya berasal dari nama Jawa, Wakidjo. Bagi pendengaran secara fonetik Prancis, nama Wakidjo terdengar “Vaquijot”. Contoh lain penyesuaian nama yakni Bou Di Mane (Budiman) atau Saricone (Sarikun). “Kami diterima baik dan sudah menjadi bagian masyarakat, tanpa ada perbedaan. Tidak ada kelas sosial di sana, semuanya sama,” tandas Evelyne.

Orang Jawa, menurutnya, bahkan cenderung disukai karena terkenal baik hati, ramah, setia kawan, dan loyal. Masyarakat setempat menyebutnya Niaoulis (baca: Nyauli). Kata itu dalam bahasa setempat berarti pohon kayu putih. Ini berasal dari kebiasaan para pekerja perempuan Jawa zaman dulu yang suka meninggalkan anaknya di bawah pohon kayu putih ketika bekerja.


Pada 20 Agustus 1924, seorang perempuan bau kencur asal Grogol, sebuah desa terpencil di Kabupaten Ponorogo, menjejakkan kakinya di Saint Louis, Kaledonia Baru. Saminah namanya. Meski baru berusia 13 tahun, ia terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tak mau dipaksa menikah dengan pemuda pilihan orang tuanya. Setelah berkelana ke beberapa tempat, ia ditawari untuk menjadi pembantu rumah tangga. Namun, tak dibayangkannya jika tempatnya bekerja adalah sebuah kepulauan terpencil di timur Australia.

Saminah adalah satu dari puluhan ribu pekerja kasar asal Jawa yang didatangkan ke Kaledonia Baru. Ia datang pada gelombang keempat setelah yang pertama pada 12 Februari 1896. Pada abad 19, kepulauan yang terletak di timur Australia, selatan Vanuatu, barat Fiji, dan utara Selandia Baru itu menjadi wilayah penghasil nikel dan krom pertama di dunia. Hal itu mengharuskan Prancis mengimpor pekerja ke negeri koloninya itu.

Selain di pertambangan, mereka juga bekerja di perkebunan kopi dan sebagian lagi sebagai pembantu rumah tangga. Menurut riset yang dilakukan Dr Jean Luc Maurer dari Universitas Jenewa (http://jurnalrepublik. blogspot.com), tercatat sekitar 20 ribu orang keturunan Indonesia yang bermigrasi ke Kaledonia Baru. Sebagian terbesar dari mereka berasal dari pulau Jawa.

Sewaktu masa kontrak kerja habis, kebanyakan di antara mereka kembali pulang ke Jawa, terutama pada rentang 1930 dan 1935, setelah terjadi malaise ekonomi pada 1929. Kondisi yang sama kembali terulang antara 1948 sampai 1955 dengan jumlah yang lebih besar, terutama pada 9 Juli 1955. Yang terakhir memutuskan pulang karena mendengar kabar Kemerdekaan Indonesia.

Sementara orang-orang Jawa yang tetap memilih tinggal di Kaledonia Baru terus berkembang. Mereka membangun komunitas Jawa dengan menjadi warga negara Kaledonia Baru. Kini Jumlah mereka ditaksir 7 ribu orang, dengan 2 ribu orang di antaranya tetap berstatus warga negara Indonesia (WNI). Di antara mereka yang tak mau kembali ke Indonesia, termasuk juga Saminah. Ia memutuskan tinggal karena sudah merasa betah dan berpenghidupan baik. Apalagi, ia menemukan cinta sejatinya di sana. Pria itu bernama Sadir, juga asal Jawa, tepatnya dari Wonotirto, Kebumen.

“Keduanya hidup bersama tanpa menikah karena saat itu belum ada lembaga pernikahan. Dari perkawinan tak resmi itu lahirlah saya,” kata Evelyne Saminah Vaquijot. Di Kaledonia Baru, masyarakat Jawa yang oleh penduduk asli (Kanaki) disebut Nyauli diterima tanpa syarat. Bahkan lebih disukai dbanding imigran lain asal India, Vietnam, atau China misalnya. Hal ini karena orang jawa dikenal baik hati, ramah, dan loyal.

Hingga kini, menurut Evelyne, masyarakat Indonesia di provinsi yang bernama resmi Collectivite sui generis de la Nouvelle-Caledonie ini telah sampai generasi ke tujuh. Kehidupan sosialnya pun telah banyak berubah. Tak lagi menjadi pekerja kasar, secara umum mereka bahkan bisa dikatakan berada pada kalangan menengah, bahkan menengah ke atas.

Di antara mereka banyak yang menjadi pengusaha, dokter, dan insinyur. Beberapa orang bahkan berhasil menjadi sebagai pegawai pemerintahan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Di antaranya J Waspan, Wakil Wali Kota Noumea. Evelyne sendiri bekerja sebagai apoteker di sebuah apotik terkenal di Noumea. Ia hidup berkecukupan dengan Andre Vaquijot, suaminya, yang bekerja di salah satu pabrik pertambangan Nikel.

Untuk lebih mempertegas eksistensinya, komunitas Jawa membentuk berbagai organsiasi. Sebut saja Persatuan Umat Muslim Masyarakat Indonesia (PUIMIK), dan Persatuan Umat Katolik Masyarakat Indonesia (ACI). Keduanya berinduk pada organisasi yang lebih besar yakni Asociation Indonesian New Caledonie (AINC). Dalam berbagai kesempatan organisasi-organisasi itu menggelar berbagai kegiatan seperti pesta budaya Jawa sampai kursus Bahasa Indonesia.

“Saya meskipun terlahir di Kaledonia, bisa lancar bahasa Indonesia dari kursus itu. Menggelikan sekali waktu itu, orang Indonesia kok kursus bahasa Indonesia hahaha,” kenangnya. Bahasa Jawa Ngoko-nya, kata dia, merupakan hasil didikan Saminah, ibunya. Di keluarga Sadir-Saminah itu, semua anak-anaknya diharuskan bicara dalam bahasa Jawa jika di dalam rumah. Namun di luar, mereka berkomunikasi dalam Prancis.

Selain itu, aturan-aturan Jawa juga masih dipegang erat saat itu. Hal-hal yang menurut adat Jawa tabu dilakukan, juga berusaha tetap dihormati. “Misalnya tak boleh nyapu kalau malam ya kami turuti, meskipun tak tahu maksudnya. Kalau ditanya orang, jawabnya ya nggak boleh sama embah (nenek),” tutur perempuan beruban itu. Tak heran, dengan tradisi yang selalu dipegang, kebudayaan Jawa di Kaledonia masih terpelihara. Upacara kedatangan 12 Februari selalu diperingati dengan tari-tarian dan pesta masakan Jawa. Mereka berbaur dengan kebudayaan asli setempat secara harmonis.

“Kalau zaman saya kecil masih banyak teman-teman bapak dan ibu yang bisa main ketoprak atau nari jaipong, sering main kalau ada perayaan,” katanya. Harmonisasi kehidupan yang ditunjukkan masyarakat Jawa di Kaledonia Baru, akhirnya mendapat apresiasi dari pemerintah setempat. Pemerintah menganggap orang Indonesia mampu meningkatkan toleransi dan keharmonisan kehidupan antarumat beragama di Kaledonia.

Ya, kepulauan seluas 18.575 kilometer persegi tersebut memang negeri Imigran. Tak hanya pribumi dan Indonesian yang tercatat sebanyak 2,6 persen. Di kepulauan yang berpenduduk 237.765 jiwa (sensus 2006) itu terdapat ras Melanesian 44,6%, European 34,5%, Wallisian 9,1%, Tahitian 2,7%, Vietnam 1,4%, Ni-Vanuatu 1,2%, dan penduduk lain (Tionghoa, Filipino) 3,9%.

Mereka tersebar di tiga provinsi, yakni Province Sud (South Province) dengan ibu kota, Noumea, Province Nord (North Province) dengan ibu kota Kone dan Province des Óles Loyaute (Loyalty Islands Province) dengan ibu kota Lifou. Masing-masing juga memeluk agama yang berbeda dengan mayoritas memeluk Katolik Roma 75%, Protestan 15%, Islam 5%, dan Animisme 5%. “Masyarakat Jawa yang dulu muslim sudah banyak yang berpindah agama yang kebanyakan karena pernikahan. Tapi itu tidak memutuskan hubungan kekerabatan. Agama di sana adalah hal yang sangat pribadi,” tutur Evelyne.

Persamaan dan kedudukan yang setara itu juga membawa masyarakat Jawa dalam konstelasi perpolitikan. Mereka yang sudah berkewarganegaraan Prancis memiliki hak memilih dan dipilih, meski tidak terikat dalam partai tertentu. Namun khusus konflik politik penduduk pribumi dengan pemerintah, kata dia, Nyauli tidak ikut-ikut. Diceritakan, di negara kepulauan itu sering terjadi kerusuhan kecil yang dimotori warga asli (Kanaki). Itu dilakukan dengan tuntutan ingin merdeka dari jajahan Prancis.

Dalam beraksi, mereka kerap melakukan sweeping kepada siapa saja yang melintas. Tak jarang, warga atau staf kantor konsulat Indonesia yang dibuka pada 1951 itu terjebak dalam sweeping. Namun, mereka lebih sering lolos tanpa kejadian apa pun setelah menunjukkan tanda pengenal Indonesia dan mengaku berasal dari Jawa. ”Mereka sangat menghormati keturunan Jawa,” katanya.

Sumber :  suaramerdeka.com
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

mas template
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. MASKOLIS - All Rights Reserved
maskolis
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya