Mereka datang ketika konflik perbatasan meletus. Keinginan melestarikan budaya leluhur membuat kampung mereka, Pampang, ditetapkan sebagai desa cagar budaya. Kenyataannya, Pampang tak lebih dari etalase kehidupan Suku Dayak Kenyah. Tempat berbagai atraksi tradisional digelar, untuk menarik lembaran rupiah dari para tamu.
Minggu, pukul 14.00 Witeng. Seiring dengan sengitnya sengatan matahari, alunan musik yang berasal dari lamin, semacam balai desa sayup-sayup dikumandangkan. Mengiringi langkah bocah-bocah cilik berpakaian adat, berhiaskan manik-manik, menari. Yang perempuan membawa bulu burung enggang, yang lelaki menggenggam mandau. Wajah para tamu lalu terpusat ke arah panggung. Sesekali begitu menikmati gerak yang disajikan. Namun seringkali nampak kosong. Seolah tak ingin memikirkan sesuatu.
Sementara di sudut pintu masuk terhampar aneka barang kerajinan di atas lantai. Ada kalung, gelang, tas yang terbuat dari manik-manik dan batu. Juga beragam obat tradisional seperti ramuan penangkal bala, kayu anti racun, minyak buaya, yang bercampur dengan sayuran hasil kebun setempat. Seorang ibu berdagu lancip, berkulit putih, dan bermata sipit sibuk menawar sayuran di pasar ‘tiban’ itu. Tak dihiraukannya bayinya yang meronta di dalam gendongan rotan berhiaskan manik-manik di punggungnya. Topi lebarnya sampai berayun-ayun dimainkan tangan kecil si bocah.
Siang itu, kesenyapan cagar budaya Suku Dayak Kenyah itu seolah lenyap. Kampung nampak semarak. Bus wisata dan mobil yang mengangkut para tamu memadati pelataran parkir. Juga angkutan umum dari Pasar Segiri, Samarinda. Namun jangan berharap melihat wisatawan asing di sana. Karena yang datang adalah tamu lokal. Sebagian malah orang dayak sendiri yang berasal dari suku lain. Seperti Dayak Punan, Tunjung, atau Benuaq. Mereka datang karena rindu akan tradisi masa lalu.
Dayak Perbatasan
Pampang begitu mudah dijangkau. Kalau kita bertolak dari Samarinda menuju ke Bontang, pada km 40 akan terpampang papan di kanan jalan bertuliskan ‘Desa Cagar Wisata Pampang’. Setelah melalui belokan jalan aspal penuh lubang dan berdebu sejauh 5 km, mulai nampak rumah-rumah kayu dengan bumbung atap berukiran burung. Tanda bahwa kita telah menginjakkan kaki di Kampung Pampang, Desa Sei Siring, Samarinda Utara.
Sepanjang jalan desa, kerap kita lihat anak-anak berseragam merah putih yang bermain di tepi jalan. Juga ibu-ibu bertopi lebar, dihiasi ornamen tradisional. Wajah mereka cantik dan tampan, berkulit putih bersih, dengan mata sipit. Mengingatkan orang akan wajah Indocina. “Tapi kami bukan orang Cina, kami orang dayak asli,” kata Pebayak, Kepala Adat Kampung Pampang.
Memang ada keterkaitan antara orang dayak dengan Cina, karena nenek moyang mereka berasal dari Yunan di Cina Selatan. Tapi yang pasti Pampang mulai dipenuhi orang dayak sejak tahun 1973. Saat itu terjadi konfontasi Indonesia-Malaysia. Kampung Apokayan di Kabupaten Malinau pun terkena imbasnya. “Waktu itu hidup di kampung sangat sulit. Sekolah, rumah sakit tak ada. Tembakau, minyak tanah juga sulit didapat. Garam dan gula yang dibawa dari kota (Samarinda, pen) hancur di jalan karena kendaraannya hanya perahu dayung. Kalau perjalanan mudik bisa sampai tiga bulan,” cerita lelaki yang masih segar di usia senjanya.
Maka, kepala adat dan pemuka masyarakat Kampung Apokayan yang menjadi bagian Suku Dayak Kenyah memutuskan mencari tanah baru untuk hidup. Mereka lalu mengutus Inga Ngeje, Petingai, Taman Juli, dan Apajaui yang kemudian menemukan Pampang. “Tempat ini dipilih karena memiliki lahan bebas untuk bertempat tinggal dan membuka ladang, sekaligus dapat bekerja pada perusahaan pemegang HPH setempat,” tambah Pebayak.
Pampang lalu berkembang menjadi pemukiman dayak. Mereka tinggal di hulu, sementara orang bugis tinggal di hilir. Melihat hal ini, Walikota Samarinda saat itu, HA Waris Husain, didukung Gubernur Kaltim H Soewandi, menetapkan Pampang sebagai Desa Cagar Budaya khusus Suku Dayak. Mungkin karena terkesan melihat warga Pampang yang kukuh melestarikan budaya leluhur.
dayak1
Menjunjung Adat
Kehidupan sehari-hari orang dayak di Pampang kental dengan tradisi. Untuk memecahkan persoalan kecil antar warga misalnya, diatur dengan hukum adat. Para pezinah, tukang berkelahi, dan penyebar fitnah yang jelas-jelas melanggar ketentuan adat akan dikenai sanksi membayar denda. “Dulu,” kata Pebayak, “dendanya berupa guci, parang, gong, atau kalung.” Namun karena barang tersebut kini sulit didapat, maka dendanya diganti dengan membayar sejumlah uang. Sebagian uang diserahkan kepada pihak yang dirugikan. Sisanya disumbangkan ke kas kampung untuk pembangunan atau keperluan upacara adat.
Dalam berladang, mereka menganut sistem ladang berpindah. Untuk itu, setiap peladang harus memiliki tiga lahan. Sebuah lahan mereka tanami padi yang dipanen setahun sekali. Tahun berikutnya, lahan kedua yang digarap. Tahun ketiga, ganti lahan ketiga, begitu seterusnya. Bergiliran, memberi kesempatan kepada tanah untuk menyuburkan dirinya. “Dulu, di Kampung Apokayan, kami malah harus memiliki 6 lahan,” kata Pebayak. Namun karena lahan semakin terbatas di Pampang, hanya pergantian 3 lahan yang bisa diterapkan. Cara ini, menurut Pebayak, terbukti efektif diterapkan di tanah kurang subur seperti Kalimantan.
Penghormatan mereka terhadap padi pun amat tinggi. Bagi orang Dayak Kenyah, tak ada gunanya memiliki uang sekarung kalau tidak punya beras. Beras, yang hanya mereka konsumsi sendiri, adalah lambang status dan kekayaan seseorang. Pantang menjual beras meskipun berlebih. Namun jika ada warga yang kurang beras, orang dayak lainnya dengan sukarela akan memberinya beras.
Agar padi tumbuh subur dan panen berhasil, dilakukan upacara pembukaan lahan yang dipimpin oleh Ngisit Ba’i. Ngisit Ba’i juga memimpin acara nebas, bakar, nugal, merumput, hingga panen. Sementara Malantau bertugas mendoakan tanaman di ladang setiap berangkat dan bangun tidur. Kini, setelah banyak warga Pampang memeluk agama Protestan dan Katolik, tugas Ngisit Ba’i dan Malantau pun digantikan para pendeta dan pastor.
Hidup di kalangan mayoritas suku dayak, tidak membuat warga Pampang lupa bersosialisasi. Mereka bergaul akrab dengan orang Banjar, Kutai, Madura, dan Bugis. Kawin campur pun bukan hal yang baru. Asal mampu memberi tanda sorong (mas kawin, pen) sesuai yang diminta keluarga perempuan Dayak Kenyah, perkawinan bisa terjadi. Namun tanda sorong ini kerap mahal atau sulit didapat, sesuai status mempelai perempuan. Bisa berupa gong, guci, parang, atau kerbau. “Kalau si pelamar tak mampu memberi tanda sorong, maka ladangnya akan diambil hingga dia sanggup membayar,” tambah ketua adat yang menempati Pampang sejak 1983.
Dikomersilkan
Satu jam berlalu. Seluruh tarian usai disajikan. Ketua Adat menutup acara. Perempuan penjual kerajinan, obat tradisional, dan sayur, mulai membanting harga jualannya. Sebuah kalung berhiaskan ‘batu lelaki’ yang semula Rp 5000 kini berharga separonya. Sementara perempuan dayak bertelinga panjang sibuk mencari calon pemotret, mereka yang memberinya Rp 7.500 untuk sekali jepretan.
“Coba kamu cari teman kamu yang mau foto pakai baju adat. Ini bajunya saya sewakan,” teriak seorang ibu, sambil mengulurkan selembar kain ke arah saya. Kain itu penuh hiasan benang emas, terlihat tua namun anggun. Beberapa gadis-gadis penari cilik pun menyerbu fotografer yang tadi sibuk memotret mereka di atas panggung. “Minta foto,” kata mereka. Namun begitu kamera telah dijepret, mereka akan terus mengejar sang fotografer untuk minta bayaran. “Kakak harus bayar kami Rp 15.000. Seperti peraturan yang tertulis di dinding dalam lamin,” rengek mereka. Mereka tak henti membuntuti hingga lembar-lembar rupiah keluar dari dompet sang fotografer.
Sejak Dinas Pariwisata melirik Pampang sebagai obyek wisata di Samarinda, wajah kampung ini mulai berubah. Pagelaran tari tradisional menjadi acara rutin setiap Minggu siang. Ratusan tamu yang datang, dan pasar kaget di dalam lamin, seolah menyadarkan orang Pampang bahwa budaya mereka bisa mendatangkan rupiah. Maka, tak hanya benda kerajinan yang dijual, tak hanya karcis pertunjukan yang diedarkan, namun wajah dan kampung mereka ikut-ikutan dijadikan komoditas.
“Selama tidak keterlaluan, saya pikir hal ini tidak masalah,” kata Endi, seorang tamu yang berasal dari Kalimantan Tengah. Tapi kalau mulai mengganggu, seperti ulah penari cilik tadi, tentu bakal menodai keaslian wajah kampung yang mulai sulit ditemui ini. Tiba-tiba saya rindu Kinahrejo dengan Mbah Marijan-nya. Orang-orang di lereng Merapi itu selalu membuat saya terkagum-kagum dengan kerendah-hatiannya, kepasrahannya, dan harga dirinya yang tinggi, sehingga emoh mengkomersilkan pemandangan dan hutan di lereng selatang Merapi itu, emoh dijadikan komoditas. (pernah dimuat di majalah familia, oktober 2003)
Sumber : othervisions.wordpress.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !