Walaupun belum pernah terlibat secara langsung dalam ekspolorasi ruang angkasa, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup disegani karena pengalamannya dalam mengeksploitasi teknologi keantariksaan. Saat penggunaan satelit bagi sebagian besar negara masih dianggap sebagai 'barang mewah', Indonesia telah meluncurkan satelitnya yang pertama, Palapa A1 pada 9 Juli 1976. Ini mencatatkan Indonesia sebagai negara ketiga di dunia setelah AS dan Canada yang menggunakan satelit komunikasi domestiknya sendiri.
Kurang dari dua tahun sejak pesawat ulang-alik pertama diluncurkan, Indonesia sudah memanfaatkan jasanya untuk meluncurkan satelit Palapa generasi kedua, Palapa B1, pada 19 Juni 1983. Operasi penyelamatan satelit Palapa B2, menyusul kegagalan pada peluncurannya--yang juga dilakukan oleh misi ulang-alik--merupakan operasi bersejarah yang kerumitannya boleh ditandingkan dengan operasi perbaikan teleskop antariksa Hubble pada dasawarsa 90-an. Pada pertengahan era 1980-an, Indonesia bahkan sempat bersiap-siap untuk mengirimkan astronautnya dalam mengikuti misi ulang-alik. Sayang, bencana Challenger akhirnya membuyarkan semua rencana itu.
Dalam teknologi peroketan, Indonesia tercatat sebagai negara kedua di Asia, setelah Jepang, yang berhasil meluncurkan roketnya sendiri. Prestasi ini ditorehkan melalui keberhasilan LAPAN meluncurkan roket Kartika 1 pada 14 Agustus 1964. Tentu saja tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan ini juga tidak lepas dari bantuan terknis dari Rusia yang saat itu tengah 'lengket' dengan Indonesia.
Sayangnya, dibalik semua catatan gemilang itu, Indonesia gagal melakukan alih-teknologi. Akibatnya, selama lebih dari seperempat abad sejak meluncurkan satelit pertamanya, Indonesia hanya bisa bertindak sebagai konsumen. Sementara itu, negara-negara lain justeru mulai menyiapkan diri untuk mulai belajar mengembangkan teknologi satelit melalui pembuatan satelit mikro (mikrosat). Malaysia misalnya, yang semula tertinggal puluhan tahun dari Indonesia dalam pemanfaatan teknologi satelit, sejak tahun 2000 telah berhasil meluncurkan satelit mikronya yang pertama, Tiungsat-1, yang merupakan hasil kerjasama dengan Universitas Surrey, Inggris. Sementara itu, Indonesia baru mulai berancang-ancang membuat satelit mikronya pada tahun 2003 ini melalui kerjasama dengan Univeresitas Berlin, Jerman. Program yang dilaksanakan dalam dua tahap selama lima tahun hingga 2007 itu, sekarang masih memasuki tahap pertama yang direncanakan selama tahun 2003-2004 (Harian Kompas, Minggu 2 Februari 2003).
Dalam bidang teknologi roketpun ceritanya setali tiga uang. Pasca 1965, hubungan dengan Rusia merenggang. Upaya transfer teknologi yang sudah dirintis akhirnya mandeg. Akibatnya, pengembangan teknologi roket Indonesia nyaris jalan ditempat, sementara negara-negara Asia lain, seperti India dan China, yang lebih belakangan menekuni teknologi ini akhirnya melampaui Indonesia dengan keberhasilannya meluncurkan roket pengangkut satelit ke antariksa.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang jarang dimiliki negara lain untuk mengembangkan teknologi antariksanya sendiri. Potensi itu berupa garis katulistiwa yang membentang diatasnya. Sekitar 13% dari garis katulistiwa berada di atas wilayah Indonesia. Dengan demikian, Indonesia tercatat sebagai negara pemilik garis katulistiwa yang terpanjang di dunia. Hal ini menjadikan wilayah Indonesia sebagai tempat yang sangat ideal untuk menjadi lokasi peluncuran roket pengangkut satelit. Kebanyakan satelit yang diluncurkan saat ini, terutama satelit komunikasi, merupakan satelit dengan orbit geostasioner, yang memang harus menetap pada posisi diatas ekuator. Peluncuran roket dari dekat garis katulistiwa akan lebih menghemat bahan bakar roket, dan karenanya lebih murah dari segi biaya.
Potensi inilah yang juga dilirik oleh pihak-pihak asing. Rusia misalnya, sudah lama mengincar pulau Biak di Papua untuk menjadi lokasi bandar antariksanya. Tapi lagi-lagi kita membuat blunder dengan ketidak mampuan menangkap peluang itu. Akibatnya, Rusia akhirnya memilih pulau Christmast di Australia sebagai lokasi bandar antariksanya. Kini Indonesia yang sibuk memprotes rencana kerjasama Australia dengan Rusia itu, karena akan menjadi pihak pertama yang bakal terkena risiko kegagalan peluncuran roket. Dari segi militer, bandar antariksa dengan mudah bisa diubah menjadi anjungan utama untuk menembakkan roket kendali berhulu ledak ke wilayah RI. Maklum, pulau yang juga dikenal sebagai pusat perjudian ini letaknya hanya sekitar 500 km dari pantai selatan pulau Jawa.
Sebenarnya Rusia masih lebih condong untuk memilih Biak sebagai lokasi bandar antariksanya karena lokasinya yang tepat berada di garis katulistiwa. Sayang sekali, karena pemerintah kita yang kurang tanggap, rencana prestisius, yang kalau terwujud dapat mendudukkan Indonesia sejajar dengan negara-negara pemilik teknologi keruang-angkasaan itu, akhirnya buyar.
Selain Rusia, Sebuah perusahaan swasta AS juga pernah amat tertarik dan bersedia menanam investasi untuk menjadikan biak sebagai lokasi peluncuran roket. Rencanamya, roket yang akan dioperasikan dari jenis berbahan bakar padat, diangkut lewat laut dari pantai timur AS ke dermaga bandar antariksa Biak. Alternatif lain, bagian-bagian roket diterbangkan dan mendarat di bandar udara Frans Kasiepo Biak, kemudian diangkut lewat darat ke tempat peluncuran. Sialnya, Rencana yang sudah matang itu, entah kenapa, kemudian hilang tak tentu rimbanya. Konon karena "rebutan rezeki" tingkat atas, yang membuat proyek bergengsi ini lepas dari genggaman (Harian Kompas, Minggu 28 April 2002).
Satu-satunya pihak asing yang telah memanfaatkan potensi Biak adalah Badan Ruang Angkasa India (Indian Space Research Organization, ISRO) yang telah bekerjasama dengan LAPAN untuk membangun stasiun TT&C (Tracking, Telemetry, and Command) di sana. Stasiun ini menjadi penting karena saat India meluncurkan roket pengangkut satelitnya, proses pelepasan muatan roket dilakukan diatas angkasa Irian, dan satu-satunya stasiun Bumi yang bisa memonitor dan mengendalikan proses ini hanyalah stasiun di Biak (Republika, Minggu 8 Juni 2003).
Pengembangan teknologi keantariksaan memang bukan prioritas di negara semacam Indonesia. Tapi paling tidak, kita masih memiliki harapan untuk menuju ke arah sana. Kita di Indonesia sebenarnya tidak kekurangan orang-orang pintar. Yang kurang sebenarnya adalah kemauan politis (political will) dari pemerintah, disamping persoalan fulus tentunya. Tapi hal ini tentu tidak boleh menyurutkan semangat kita untuk terus belajar dan mengejar ketertinggalan dalam bidang teknologi dari negara-negara yang lebih maju.
Sumber : dhani.singcat.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !