Engkau tentu ingat bahwa puasa terkadang dipakai sebagai alat politik. Sering baca di koran berita tentang orang mogok makan? Mogok makan adalah senjata politik pamungkas, suatu jenis political pressure, sesudah cara lain, misalnya perlawanan kekuasaan, pemberontakan militer dsb, tidak mempan atau tidak mampu membawa pelakunya memperoleh apa yang dikehendakinya. Mogok makan bisa juga disebut suatu pola perjuangan moral. Artinya, dengan melakukan mogok makan, seseorang mencoba menyentuh moralitas pihak yang dilawannya untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya.
Kenapa dengan mogok makan? Karena tujuan mogok makan sesungguhnya adalah mati. Kalau penguasa membiarkan seorang pemrotes mati karena mogok makan, ia akan dicatat oleh buku sejarah sebagai manusia tak bermoral. Tetapi sayang seribu sayang banyak penguasa yang tidak perduli pada cap amoral atau stempel kebiadaban di jidatnya. Sehingga banyak pemogok makan dibiarkan saja sampai sejauh-jauh penderitaannya, karena kalau sekedar ada orang mati karena mogok-mogok makannya sendiri, apa istimewanya. Sedangkan ada orang mati karena ditumpas oleh aparat kekuasaanpun sudah menjadi pemandangan biasa dalam sejarah ummat manusia dewasa ini. Artinya, untuk apa takut dicap tidak bermoral, Iha wong penguasa itu sudah sangat banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang jauh lebih biadab dibanding itu.
Dan biasanya, para pemogok makan lantas juga tidak ber-istiqamah. Ia membatalkan mogoknya di tengah proses. Bahkan di Yogya pernah ada mahasiswa yang mogok makannya sekedar mogok makan nasi, sehingga ia membolehkan dirinya makan hamburger atau makanan-makanan lain. Maka tujuan politiknya tidak tercapai. Metoda pressure-nya tidak efektif kecuali sekedar membuat penguasa tertawa terpingkal-pingkal belaka.
Sekarang proyeksinya kepada kenyataan, bahwa sampai konteks tertentu, mogok makan itu mirip dengan puasa. Letak kekuatan puasa adalah karena kalau ia tidak dibatasi maka akan menghasilkan kematian. Mungkin engkau kuat berpuasa 40 hari 40 malam dan menjadi pendekar mumpuni. Atau engkau adalah seorang Bikhu di sebuah gua di Thailand yang lebih tiga tahun hanya bersila saja tanpa makan tanpa minum.
Hal yang terakhir itu memiliki hitungan rasionalitasnya sendiri dan memerlukan penjelasan tersendiri pula. Tetapi kita memakai pengetahuan ‘normal’ saja bahwa puasa total selama jangka waktu tertentu akan mengantarkan pelakunya kepada maut. Maka dari sudut semacam ini engkau bisa menemukan salah satu definisi atau fungsi puasa: ialah jalan menuju kematian fisik. Kegiatan puasa adalah perjalanan melancong ke tepian jurang kematian, meskipun engkau sadar untuk membatasinya sehingga tidak melompat masuk jurang itu.
Perjalanan melancong itu, dalam puasa yang dikonsepkan dengan batas-batas yang sehat, sekedar mengajakmu untuk mengalami dan menghayati situasi-situasi yang seolah-olah anti-kehidupan. Misalnya lapar, dahaga, lemas, loyo, lumpuh dan seterusnya.
Di dalam puasa atau pekerjaan apapun, substansi yang terpenting sesungguhnya adalah kesadaran tentang batas. Batas yang benar pada sesuatu hal akan merelatifkan hakekat suatu pekerjaan dan kondisi. Umpamanya tadi aku sebut bahwa lapar dan haus adalah situasi yang anti-kehidupan. Itu artinya bahwa lapar dan haus yang tak dibatasi akan memproduksi mati. Akan tetapi engkau tidak bisa mendikotomikan lapar-haus dengan kenyang-segar, apabila engkau memakai kesadaran batas. Sebab kenyang yang tidak dibatasi, juga akan membawa manusia kepada maut.
Juga apabila lapar di situ engkau artikan secara lebih luas menjadi – katakanlah – kemiskinan, kemelaratan atau kefakiran. Kefakiran yang melampaui batas akan membunuh manusia. Bukan hanya terbunuh fisiknya, tapi mungkin juga daya hidupnya, kepercayaan dirinya, mentalnya, imannya dan lain sebagainya.
Sebaliknya, kenyang dalam arti sosial budaya, yakni pemilikan harta yang berlebihan, kekuasaan yang berlebihan, kemenangan yang terlalu mutlak, sesungguhnya cenderung membunuh unsur-unsur tertentu di dalam diri para pelakunya. Pemilikan harta yang berlebihan akan bisa membuat pelakunya kehilangan standar kelayakan hidup, akan mungkin mengurung pelakunya dalam keterbudakan oleh keserakahan, oleh rasa tidak cukup yang tak habis-habisnya.
Kekuasaan yang terlalu lama juga akan mematikan kewajaran pelakunya, karena ia terpenjara oleh akibat-akibat dan ancaman-ancaman yang berada di depannya yang berasal dari kekuasaannya yang berlebih. Jadi, baik kaya atau miskin, kenyang atau lapar, punya atau tidak punya semuanya ini diikat oleh disiplin batas, agar tidak mencenderungi kematian. Kesadaran tentang batas inilah yang antara lain diajarkan oleh kandungan hikmah puasa. Hakekat puasa adalah menahan diri. Menahan diri adalah kesanggupan untuk menciptakan batas-batas dalam suatu perbuatan.
Dengan demikian kesadaran utama dalam kehidupan adalah kesadaran tentang kematian, karena alamat kematian adalah pada garis akhir kehidupan. Yang paling pokok harus diurus oleh manusia bukanlah kemerdekaan, melainkan keterbatasan. Bukanlah kebebasan, melainkan batas-batas. Dengan kata lain, pelajaran utama tentang kehidupan sebenarnya adalah bagaimana menyadari kematian.
Dan, apakah gerangan pasal terpenting dari ilmu kematian? Ialah kesadaran bahwa semua milikmu ,yang bersifat duniawi itu tidak bisa engkau bawa masuk ke kuburan. Artinya, kenapakah engkau menghabiskan tenaga, pikiran, usia, serta hiasan iri, dengki dan napsu itu untuk menumpuk sesuatu yang tak bisa engkau angkut ke keabadian di masa datang? Kenapakah tidak engkau lakukan dan cari saja segala sesuatu yang bisa kau bawa ke hadapan Allah? Apakah aku melarangmu untuk kaya? Tidak. Kayalah, dan amal salehkanlah.
Sumber : samsira.wordpress.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !