Masih tentang Feynman. Di Surely you’re Joking Mr. Feynman,  ada kisah ketika suatu waktu Feynman merasa mulai sebal dengan fisika.  Ia tahu sebabnya. Tidak lain karena ia mulai serius. Akhirnya ia  putuskan untuk kembali seperti dulu: bermain dengan fisika. Ia menulis  di bukunya, “aku melakukan apa saja yang kusukai; apa yang kukerjakan  tak mesti penting untuk perkembangan fisika nuklir, tapi asal menarik  dan menyenangkan untuk mainanku”.
Suatu ketika Feynman bermain lempar piring di kafetaria kampusnya.  Waktu piring itu melayang di udara, ia melihat bandul merah di atas  piring itu berputar-putar, lebih cepat daripada perputaran piring.  Dengan penuh semangat ia mulai menghitung gerakan rotasi piring itu.  Hasilnya ia ceritakan kepada koleganya, fisikawan terkenal Hans Bethe  (peraih Nobel Fisika tahun 1967).
Bethe bilang, “Feynman, itu memang menarik, tetapi apa pentingnya?  Mengapa kau kerjakan?”
Memang tidak ada pentingnya. Feynman mengerjakannya cuma karena  senang. Komentar Bethe tidak mempengaruhinya karena ia sudah menetapkan  hati untuk menikmati fisika. Ujungnya, main-mainnya itu mengantarkan ia  kepada perhitungan-perhitungan gerakan elektron yang rumit, yang  akhirnya melahirkan teori elektrodinamika kuantum dan belakangan  membuatnya diganjar hadiah Nobel.
Teringat dengan kisah diatas, Muzi Marpaung menggugat di Kompas: Haruskah sains  dianggap serius? Apakah sains harus ada aplikasinya, atau sains yang  hanya berisi rumusan dan teori itu boleh dianggap tidak bermanfaat?
Idenya berasal dari sebuah kompetisi sains. Seorang anak kelas VI  sekolah dasar memasang botol plastik yang telah dibelah dua di atas  mobil-mobilan Tamiya tanpa bodi. Di dalam botol ia masukkan balon berisi  air, sambil tangannya terus menjepit leher balon agar air tidak tumpah  sebelum waktunya. Kemudian jepitan ia lepaskan. Air mengucur deras ke  belakang, dan mobil-mobilan meluncur ke depan. Dengan penuh semangat,  sang anak memperagakan temuannya itu didepan juri. Tapi sang juri lantas  bertanya tentang apa gunanya percobaan ini, dan si anak tidak bisa  menjawab lain selain bahwa gejala ini adalah bukti bahwa air bisa  dimanfaatkan sebagai sumber energi. Anak ini tidak menang.
Sementara itu, di dalam kompetisi percobaan sains lainnya, seorang  anak SD memeragakan kincir air buatannya. Kincir air itu bagus dan  sederhana. Ia kemudian bercerita mengenai manfaat dari kincirnya itu,  yang dikatakannya “dapat memperbaiki kesejahteraan para petani”.  Terlepas dari apakah soal kesejahteraan petani itu idenya sendiri atau  “pesanan” orangtua atau gurunya, saya sependapat dengan Marpaung: Hal  ini menjerembabkan sains menjadi serius. Eksperimen sains anak-anak  kembali “menghamba” untuk menjadi jawaban atas pertanyaan “apa  manfaatnya”.
Mengapa kepada anak yang pertama tadi tidak ditanyakan bagaimana  ceritanya sampai ia mendapat ide seperti itu? Tentunya akan jauh lebih  berharga apabila juri mengeksplorasi kegembiraan anak-anak saat  menceritakan kembali perjalanan eksperimennya ketimbang menghadangnya  dengan pertanyaan “apa manfaatnya?” Boleh jadi eksperimen anak itu  pernah dilakukan di belahan bumi yang lain. Bukan sesuatu yang baru.  Akan tetapi, bagi si anak, tetap saja baru. Seharusnya kita membiarkan  semangat mereka itu berkembang menjadi antusiasme yang kelak akan  mendorong mereka untuk mengerjakan eksperimen sains lainnya yang lebih  asyik. Pertanyaan “apa manfaatnya” hanya akan menjadi pagar khayalan  yang menghadang kreativitas mereka di sana-sini.
Waktu cerita ini dibawa ke sebuah milis untuk didiskusikan, saya cuma  bisa menanggapi dengan mengutip kata-kata bijak dari ahli  fisika-matematika asal Prancis, Jules Henri Poincare (1854-1912): “The  scientist does not study nature because it is useful; he studies it  because he delights in it, and he delights in it because it is  beautiful. If nature were not beautiful, it would not be worth knowing,  and if nature were not worth knowing, life would not be worth living.”  Ya, inilah semangat yang seharusnya melandasi setiap upaya untuk  mempelajari sains. Kita belajar tentang alam bukan karena itu  bermanfaat, tapi karena kita menikmatinya, dan kita menikmatinya karena  keindahannya.
Kata “sains” (science) sebenarnya berasal dari kosa kata  bahasa latin scire yang artinya kurang lebih “untuk  mengetahui”. Kalau dilihat di ensiklopedi, sains didefinisikan sebagai  studi sistematik tentang apa saja yang bisa diteliti, diuji, dan  dibuktikan. Sains adalah pencarian kebenaran. Sarananya adalah rasio,  objektifitas, eksperimen, dan pertukaran informasi. Salah besar apabila  kita menilai sains semata-mata dari hasil yang diperoleh, dengan  “manfaat” dari sebuah penemuan sebagai indikatornya. Bicara tentang  sains berarti bicara tentang proses ketimbang hasil. Dan proses untuk  memperoleh sebuah pencapaian jauh lebih bernilai dibandingkan dengan  pencapaian itu sendiri.
Di akhir tulisannya, Marpaung menandaskan: “Anak-anak, bahkan juga  kita orang dewasa, patut diberitahukan bahwa kemenangan yang  sesungguhnya ialah apabila kita semakin memahami alam. Jadi, entah di  rumah entah di sekolah atau di mana saja, biarlah anak-anak bergembira  dengan sains. Biarlah mereka menemukan dunia yang asyik melalui  kegiatan-kegiatan yang tampak tak berguna semacam mengamati semut,  mencampur soda kue dan cuka di dapur rumah Anda, atau meniup gelembung  sabun dari sisa sabun mandinya. Dampingi saja mereka bermain dan  bergembiralah bersama. Atau jangan-jangan Anda sendiri masih memandang  sains kelewat serius?”
Sumber : blog.dhani.org
 
 



0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !