Sebuah jembatan gantung sepanjang 50 meter langsung menarik perhatian kami begitu memasuki kawasan “Mari-Mari Village”, sekitar 25 menit perjalanan dari Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Sekitar lima meter di bawahnya, air sungai nan bening mengalir di antara bebatuan besar, menimbulkan suara gemericik. Tanpa komando, kami saling bertukar kamera dan berpose dengan latar pemandangan asri tersebut.
Namun baru beberapa langkah selepas ujung jembatan, 10 pemuda bertelanjang dada muncul tiba-tiba dari balik semak-semak dan bebatuan sambil mengeluarkan teriakan-teriakan yang tak saya pahami. Dengan menggenggam tombak, mandau, dan senjata tajam jenis lainnya, mereka seolah mengepung kami dengan pandangan awas, penuh selidik. Saya dan sembilan anggota rombongan wartawan berbagai media dari Jakarta dan Bandung terkejut bukan main. Tawa dan canda kami sontak terhenti. Suasana tegang untuk beberapa jenak.
Sejurus kemudian, seorang kepala suku berikat bulu-bulu burung di kepala mendekati rombongan dan berbicara dengan salah satu anggota rombongan yang kami tuakan. Dialog pun terjadi. Ketua rombongan kami, Baskoro, dari Indonesia AirAsia, berbicara sambil memegang pundak kanan Adam, si kepala suku, dan sebaliknya.
Setelah berbasa-basi dan meminta maaf atas kegaduhan yang dibuat rombongan, Baskoro berujar, "Kami sengaja datang untuk mengenal lebih dekat kehidupan budaya setempat.” Keduanya kemudian bersalaman dan kami pun diizinkan memasuki perkampungan tersebut. Beberapa meter sebelum memasuki pekarangan, dengan terbungkuk-bungkuk seorang nenek berpenampilan mirip penyihir mencipratkan air ke arah tubuh kami satu per satu. Konon, air itu mengandung jampi-jampi sebagai penolak bala dari segala kemungkinan yang tak dikehendaki selama berkunjung di perkampungan itu.
Berada di area seluas 7,5 hektare di kaki pegunungan nan asri, Mari-Mari Village merupakan desa wisata sejarah yang sengaja dibangun untuk memperkenalkan seni budaya lima suku terbesar yang tinggal di Sabah pada masa 300-500 tahun silam. Kelima suku itu adalah Kadazan Dusun, Bajo, Lundayeh, Murut, dan Rungus. Meski menjadi obyek wisata, hutan di sana dibiarkan tetap perawan demi menjaga keseimbangan ekosistem flora dan fauna di dalamnya.
Sepanjang perjalanan mengitari perkampungan, kicau burung dan suara-suara binatang hutan lainnya masih terdengar. Secara umum, tipe rumah panggung kelima suku itu mirip: terbuat dari kayu, bambu, ijuk, dan menempatkan kamar tidur perempuan di bagian atas. Hanya rumah suku Bajo asal Sulawesi yang terlihat lebih besar dan megah karena mereka umumnya dikenal sebagai saudagar.
Di awal kunjungan, kami berkenalan dengan suku Kadazan Dusun, kelompok etnis terbesar di Sabah. Suku ini dikenal mahir membuat minuman arak dari beras yang difermentasi dengan ragi (semacam air tape ketan). Soal rasa manis atau masam, tergantung suasana hati si pembuat. Bila sedang riang dan penuh senyum, niscaya rasa arak akan manis. Dan sebaliknya.
Di suku ini juga diperagakan cara memasak dengan bambu. Beberapa perwakilan rombongan diminta meracik sendiri makanan untuk dimasak. Aneka bumbu dan lauk-pauk sudah disediakan. Semua bahan dicampur, dibungkus dengan daun pisang, lalu dimasukkan ke dalam bambu dan dipanggang di atas tungku. Hasilnya dinikmati bersama saat waktu makan siang tiba.
Tapi yang paling menarik perhatian pengunjung, terutama para turis asing, adalah kisah kehidupan suku Murut. Di masa lalu, suku ini dikenal sebagai pemburu kepala. Menurut kepercayaan mereka, jika pria dari suku Murut akan menikah, minimal harus menyediakan satu kepala untuk keluarga gadis yang dinikahinya. Semakin banyak tengkorak kepala yang menghiasi rumah, si pemiliknya kian disegani masyarakat.
“Tapi itu masa lampau. Kini, adat istiadat macam itu tak berlaku lagi. Kami sudah membaur dalam kehidupan modern,” kata Bong Muin Salim atau akrab disapa Cik Bong, yang menjadi pemandu kami selama di Kinabalu. Ia mengaku, selain memiliki darah Filipina, juga berasal dari suku Kadazan.
Untuk membuktikan suku-suku itu sudah membaur dengan kehidupan modern, Adam, sang kepala suku, tiba-tiba nyeletuk, “Kembali ke laptop!” Ia terbahak. Selain Bukan Empat Mata yang diasuh Tukul Arwana, Opera Van Java yang dibintangi Sule, serta Cinta Fitri menjadi favoritnya. “Televisi Indon, bagus-bagus, variatif. Kami sangat suka,” ujarnya.
Suku Rungus lain lagi. Mereka mahir membuat sumber api dari bambu. Caranya, kulit luar bambu diserut, kemudian bambu dibelah dua. Hasil serutan dimasukkan ke dalam belahan bambu, kemudian ditutup. Lalu digesek-gesekkan dengan bambu lain hingga mengeluarkan panas. Sumber panas yang menempel di serutan bambu tadi mulai berasap. Lama-lama api pun menyala.
Sambil menanti menu makan siang tersedia, rombongan disuguhi aneka tarian dari suku-suku tersebut. Karena tinggal di pulau besar yang sama, Kalimantan, pakaian, pola hiasan, maupun jenis tarian mereka (tari bambu) amat mirip suku Dayak. Pengunjung dipersilakan untuk turut menari bersama mereka.
Tarif masuk ke obyek wisata ini RM 150 per orang (sekitar Rp 435 ribu), sudah termasuk makan siang. Bagi yang ingin menginap, tersedia penginapan dengan biaya semalam RM 40 (Rp 116 ribu).
Jika Negeri Jiran begitu kreatif menjual kampung primitif seperti itu, saya membayangkan kita pun pasti bisa lebih baik. Kehidupan suku Naga di Garut atau suku Badui di Banten, andai dikemas seperti itu, hasilnya pasti akan lebih menarik. Sebab, suasana kehidupan masyarakat di sana tentunya masih orisinal, bukan rekaan dan akting layaknya di Mari-Mari Village ini.
Sumber : tempointeraktif.com
Informasinya menarik.
ReplyDeleteSekedar berbagi informasi, kami Wagner Grosir Sandal Gunung menjual: Sandal Gunung Indoor, Sandal Gunung Outdoor, Sandal Gunung Cowok, Sandal Gunung Pria, Sandal Gunung Wanita, Sandal Gunung Anak.
Dijamin Sandal Gunungnya Nyaman, Kuat dan Bagus. Menerima juga pembuatan Sandal Gunung Custom dengan merk atau brand sendiri.