Pemerintahan Presiden Soeharto yang didominasi militer telah menguasai segala jenis politik.Partai-partai politik dihancurkan dalam pemilihan umum tahun 1971, pers diintimidasi dan para mahasisiwa kembali ke kampus. Bantuan dana luar negri mengalir terus, kenaikan penanaman modal asing dan hasil penjualan minyak semakin tinggi, semua ini menjamin pengendalian pemerintahan. Menjelang akhir Oktober 1973, rapat mahasiswa di Universitas Indonesia menghasilkan “Petisi 24 Oktober 1973” yang memprotes pelanggaran hukum, meningkatnya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kenaikan harga, pengangguran, dan menuntut peninjauan kembali terhadap strategi pembangunan yang hanya menguntungkan oarang kaya.
Beberapa minggu kemudian keresahan mahasiswa berkembang, dan ketika Mentri Pembangunan dan Kerja Sama Belanda yang juga ketua Inter-Governmental Group Indonesia (IGGI), Drs. Jan P. Pronk tiba di Jakarta pada tanggal 11 November 1973, dijadikan momentum untuk demonstrasi anti modal asing oleh para mahasiswa yang tergabung dalam “Gerakan Mahasiswa Indonesia Untuk Indonesia.” Mereka menyatakan kepada Pronk, bahwa mereka tidak bangga dengan bantuan dan modal asing dalam bentuk gedung bertingkat, hotel, coca cola, night club, dan sebagainya. Karena lebih banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan, perumahan dan tanah, industri-industri tekstil kecil yang mati, hutan menjadi gundul, dan semua sumber minyak Indonesia terkuras.
Kemudian beberapa delegasi mahasiswa Indonesia menemui pemimpin-pemimpin pemerintah untuk memprotes kebijakan ekonomi yang bergantung kepada modal asing, dan terhadap cara hidup mewah, termasuk di antaranya demonstrasi di Hotel Indonesia pada saat sedang diselenggarakan pemilihan ratu kecantikan Miss Indonesia, bertepatan dengan itu suasana liberal mendorong kalangan Pers Indonesia mengkritik modal-modal asing dan pegawai yang korup. Penyair W. S. Rendra menggelar sandiwara tentang suatu negara Amerika Latin tanpa nama, di mana para mahasiswanya mengibarkan bendera merah putih dan bergabung ke dalam revolusi menentang pemerintahan militer yang korup.
Seiring semakin dekatnya kunjungan Perdana Mentri Jepang Kakuei Tanaka, gerakan-gerakan bernada anti Jepang meningkat. Pemuda-pemuda naik ke atas gedung tertinggi di Jakarta untuk memancangkan bendera merah putih di atas neon reklame Jepang. Ketidakpekaan pembesar-pembesar terhadap perasaan umum tergambar dalam sikap mereka ketika pasukan keamanan mencabut bendera itu dua jam kemudian. Tetapi Jendral Sumitro, Panglima Komando Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban, bersikap lunak terhadap kritik-kritik yang sebagian besar dilontarkan kepada kegiatan-kegiatan kelompok Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Ketika mahasiswa menyerang perjanjian-perjanjian dengan cukong-cukong Cina dan penanam modal Jepang, Sumitro tidak hanya menghindar untuk melakukan tindakan represif, tetapi juga pada bulan November 1973, ia mengunjungi kampus universitas di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di mana ia menjanjikan adanya Pola Kepemimpinan baru termasuk komunikasi dua arah. Dengan mengambil pelajaran dari preseden yang terjadi di Thailand, tampak dengan sadar Sumitro menghindarkan diri dari pemerintah, sementara secara implisit ia menyemangati mahasiswa dan pers untuk menyerang kebijaksanaan “Asisten Pribadi” (ASPRI) Presiden Soeharto pada waktu bersamaan. Setelah berkonsultasi dengan Kepala Badan Koordinasi Intelejen Nasional (Kabakin), Letnan Jendral Sutopo Juwono, Sumitro mendekati pemimpin-pemimpin Islam dan menawarkan untuk merumuskan Rancangan Undang-Undang perkawinan yang baru, menggantikan Rancangan Undang-Undang yang sebelumnya didukung Ali Murtopo.
Dengan persetujuan dari kalangan perwira lapangan yang bertanggung jawab mencegah/menjegal terjadinya provokasi terhadap kaum muslimin maka rencana-rencana tersebut menjadi dasar undang-undang yang segera disahkan dengan dukungan dari pihak Islam. Jendral Sumitro bekerja sama dengan mahasiswa dan kaum muslimin untuk menghadapi Jendral ASPRI. Bahwa ada suatu perjuangan berebut kekuasaan yang sedang berlangsung di kalangan elite militer pada minggu-minggu awal tahun1974.
Meskipun siasat menyiasati dalam hal itu dilakukan secara pribadi, terdapat indikasi-indikasi yang cukup terbuka tentang adanya keretakan-keretakan tersebut, yang menimbulkan asumsi-asumsi bahwa sesuatu akan terjadi sewaktu kunjungan Perdana Mentri Tanaka. Setelah ada pertemuan-pertemuan yang panjang dengan Presiden Soeharto pada tanggal 11-12 Januari 1974, Sumitro tampil dengan muka gelisah, Ali Murtopo mendampinginya dengan wajah tersenyum simpul, membantah desas-desus bahwa ia bermaksud menggantikan pimpinan nasional, dan menyatakan antara ia dengan Ali Murtopo tidak bersaing. Tampaknya Presiden Soeharto yang didukung Ali Murtopo telah mendesak Sumitro membuat pernyataan kepada pers. Tersebar selentingan-selentingan bahwa Soeharto telah memecat Sumitro ketika ketegangan mulai mengendor.
Dua minggu kemudian Sumitro berusaha memperkuat posisinya dengan mencari dukungan dari kalangan pendukung-pendukungnya sendiri, dan dari kalangan luar seperti dari Jendral A. H. Nasution dan Gubernur Akademi Militer yang dikecewakan, Sarwo Edhie. Dikabarkan bahwa pada tanggal 11 Januari 1974, Sumitro dan Nasution mengunjungi kota kecil Magelang, di Jawa Tengah, tempat Akademi Militer. Walaupun Gubernur Akademi Militer, Sarwo Edhie tidak disebutkan dalam laporan tersebut, tetapi diperkirakan dengan kuat mereka bermaksud untuk mengadakan perundingan-perundingan dengan Sarwo Edhie (Kompas, 14 Januari 1974).
Meskipun belum jelas apa yang sebenarnya direncanakan Jendral Sumitro, namun tampaknya ia tidak pasif saat menerima teguran-teguran presiden kepadanya pada tanggal 2 Januari 1974. Antara tanggal 14-17 Januari 1974 stabilitas semu pemerintahan telah sangat meragukan karena terjadi huru-hara di Senen yang mengguncang Jakarta, bertepatan dengan kunjungan Perdana Mentri Jepang Tanaka. Diduga bahwa Sumitro mengharapkan protes-protes mahasiswa terhadap kunjungan Tanaka, akan digunakan untuk melemahkan posisi Ali Murtopo dan Sudjono Humardani. Pada hari-hari menjelang kedatangan Perdana Mentri Jepang Tanaka pada tanggal 14 Januari 1974, kekangan-kekangan yang biasanya diterapkan Komando Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban telah dikendorkan lagi. Sementara para mahasiswa berdemonstrasi ke kantor Ali Murtopo sambil membakar boneka-boneka Tanaka dan Sudjono Humardani di Jakarta dan Bandung.
Pada tanggal 15 Januari 1974, pagi hari setelah kedatangan Tanaka, terjadi peristiwa demonstrasi mahasiswa anti dominasi ekonomi Jepang di Indonesia dan kecaman terhadap Asisten Pribadi Presiden Soeharto, Ali Murtopo dan Sudjono Humardani. Mahasiswa merencanakan aksi demonstrasi anti modal asing di pangkalan udara Halim Perdana Kusuma utnuk menyambut kedatangan Tanaka. Namun tidak berhasil menerobos pangkalan udara yang dijaga ketat. Akhirnya aksi unjuk rasa terjadi hampir di seluruh ruas jalan kota Jakarta.
Ribuan mahasiswa berbaris di jalan-jalan tengah kota dan membagikan surat-surat selebaran yang berisi tuntutan untuk membubarkan ASPRI, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Dengan judul “Tritura ‘74”, Tiga Tuntutan Rakyat 1974, menggunakan lagi semboyan “Tritura” yang menjadi tema demonstrasi mahasiswa terhadap Presiden Soekarno pada tahun 1966. Sore harinya aksi demo mahasiswa tersebut berubah menjadi kerusuhan sosial yang tak terkendali disertai dengan aksi massal pembakaran mobil-mobil Jepang dan lain-lainnya, penghancuran toko pajangan Astra Motor”, penyerangan pabrik cocacola, dan penjarahan toko-toko oleh sebagian besar pemuda dan anak-anak dari daerah perkampungan Jakarta. Hingga hari berikutnya.
Konon pusat pertokoan yang besar itu di pasar Senen dibakar dan dirampok oleh gerombolan preman yang dipimpin kaki tangan Ali Murtopo, dalam upaya membendung aksi demo mahasiswa. Kekerasan peristiwa ini hanya bisa dirasakan tidak untuk diungkap tuntas. Berita di surat kabar hanya mengungkap fakta yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Dari sebuah sumber disebutkan dalam peristiwa ini tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 orang luka-luka, 775 orang ditahan, sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak atau dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
Sumber lain menyebutkan huru-hara ini menimbulkkan sekitar 11 orang tewas, 200 orang luka berat, dan lebih dari 800 orang ditangkap oleh Kopkamtib. Sebanyak 800 mobil terutama buatan Jepang, 100 gedung dan rumah dibakar. Toko-toko yang menjual barang made in Jepang dijarah. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa malapetaka 15 Januari (Malari). Pada hari pertama terjadinya huru-hara, pasukan tentara tidak bertindak keras, dan wartawan-wartawan asing sangat heran menyaksikan Jendral Sumitro berpidato di depan para demonstran dengan nada bersahabat dari sebuah jeep di muka gedung kedutaan besar Jepang. Baru pada hari kedua tentara mulai menembak kaum perampok, menewaskan sekitar 12 orang, di komplek pertokoan Senen.
Para pengamat hanya bisa menebak-nebak apa sebenarnya yang ada dalam gagasan Jendral Sumitro. Diduga ia ingin menunjukkan sikap, bahwa jangan menumpas, ketika para mahasiswa berdemonstrasi yang besar anti Jepang. Tetapi akan kemungkinan ia meminta kepada presiden untuk menahan kekuasaan para arsitek kebijakan Indonesia-Jepang, bahkan ada suara-suara bahwa Sumitro merencanakan menghadap presiden dengan suatu “fait accomplete”akan sangat mirip dengan cara-cara Soeharto menggunakan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa bulan Maret 1966 untuk memaksa Presiden Soekarno memecat Subandrio dan mentri-mentri lain.
Bagaimanapun rencana Sumitro berubah menjadi huru-hara selama dua hari mulai pagi berikutnya. Tidak hanya itu, menggunakan demonstrasi mahasiswa tidak tepat untuk menghadapi Ali Murtopo dan Sudjono Humardani, bahkan Sumitro sendiri telah ditempatkanpada kedudukan defensif ketika dakwaan-dakwaan ditujukan kepadanya bahwa ia telah menciptakan situasi tidak bertanggung jawab yang mengancam kepentingan Angkatan Darat secara keseluruhan. Kalau di satu pihak Sumitro mendapat dukungan dari kalangan militer untuk menghapuskan peranan ASPRI, tetapi di pihak lain perwira-perwira Angkatan Darat dengan cepat merapatkan barisan dalam menghadapi awal pemberontakan masa rakyatnya. Ada desas-desus menyatakan Ali Murtopo terlibat dalam membangkitkan massa dengan maksud mengdiskreditkan Sumitro.
Untuk petunjuk yang samar-samar dalam hal ini (“Pojok” dalam Indonesia Raya, 16 dan 18 Januari 1974. Indonesia Raya adalah salah satu dari surat kabar harian Jakarta yang ditindak penguasa sejak terjadinya huru-hara). Pada tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00 WIB, Perdana Mentri Jepang itu berangkat dari istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara Halim Perdana Kusuma. Hari itu juga kerusuhan dapat dipadamkan. Ada dugaan bahwa kaum komunis (sisa-sisa PKI) bertanggung jawab atas huru-hara ini. Pemerintah menyalahkan bekas Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai dalang kerusuhan. Pemimpin-pemimpin militer menganggap serangan terhadap Jepang merupakan serangan terhadap pemerintah juga secara langsung.
Dalam adu kekuatan sesudah huru-hara, mereka menuduh pihak lawan telah merencanakan kudeta untuk menggulingkan Soeharto. Presiden Soeharto memberhentikan Jendral Sumitro dari jabatan Pangkopkamtib. Jabatan asisten pribadi presiden yang semula dijabat Ali Murtopo dihapuskan. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Sutopo Juwono digantikan oleh Jendral Yoga Sugama, seorang perwira Diponegoro. Tak lama setelah itu Sumitro menolak ditunjuk sebagai duta besar di Washington. Sutopo Juwono ditunjuk sebagai duta besar untuk Netherland, Sarwo Edhie sebagai duta besar di Korea Selatan, Charis Suhud dijadikan Kepala Kontingen Indonesia di Vietnam Selatan dan Kepala Staf Angkatan Darat, Sajidiman dipindahkan ke Lembaga Pertahanan Nasional.
Tindakan relatif ringan terhadap Sumitro dan pendukungnya yang terkemuka itu terkesan masih ada sebagian terpenting dari korps perwira dan bahwa Soeharto tidak bersedia untuk berlawanan dengan perwira-perwira tersebut dengan menindak lebih keras terhadap pemimpin-pemimpin dari kelompok-kelompok Sumitro itu. Jabatan Sumitro selaku Wakil Panglima ABRI diambil alih oleh bekas Pangdam Diponegoro, Surono, pengendalian kopkamtib diberikan kepada kawan lama Soeharto yang lain, Laksamana Sudomo. Divisi Siliwangi dari Jawa Barat dan Brawijaya dari Jawa Timur belum pernah sedikitpun terwakili dalam pucuk pimpinan elite militer seperti itu, sejak Angkatan Darat memegang kekuasaan pada tahun 1966. Pemerintah bertindak keras. Puluhan aktivis, cendekiawan, mahasiswa, pimpinan lembaga kemahasiswaan, dan pengecam dari kalangan sipil lain, ditangkap.
Di antaranya adalah Profesor Sarbini Sumawinata dari Universitas Indonesia, Subadio Sastrosatomo pemimpin PSI yang dibubarkan Presiden Soekarno tahun 1960, Pemimpin Redaksi Indonesia Raya Mochtar Lubis, tokoh pemimpin mahasiswa Indonesia Hariman Siregar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Syahrir dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mereka dihadapkan ke muka pengadilan dengan dakwaan melakukan tindakan subversif, bahkan ada yang dihukum penjara. Tetapi sangat diragukan bahwa mereka telah merencanakan merebut kekuasaan untuk kepentingan sendiri. Jika benar pemerintah terancam oleh kudeta di bulan Januari 1974 itu, ancaman sebetulnya dari kalangan tentara sendiri.
Sehari setelah peristiwa Malari, pemerintah membredel sejumlah surat kabar dan penerbitan pers. Dalam buku berjudul Dari Soekarno sampai SBY, Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa, halaman 86-89, karya Prof. Dr. Tjipta Lesmana, MA, terbit Januari 2009, tercantum kesaksian Mantan Mentri Penerangan Mashuri,SH (alm.) tentang pertemuannya dengan Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, pada tanggal 16 Januari 1974. “Hanya tiga patah kata itu yang diucapkan kepada saya, yaitu tutup,tutup,tutup!” Soeharto memperhatikan sebentar daftar nama harian dan penerbitan pers yang bermasalah. Dengan raut wajah masam dan nada keras, Mashuri diperintahkan menjatuhkan sanksi bredel.
Tindakan represif atas media massa yang disinyalir memprovokasi masyarakat agar membenci Jepang.
Soeharto : Tutup! Mashuri : Maaf, bapak Presiden, berapa hari? Soeharto : Tutup! Mashuri : Tetapi karyawannya banyak, pak? Soeharto : Tutup!
Perintah Soeharto tidak dapat ditawar lagi dan harus dilaksanakan hari itu juga. Saran agar sanksi bredel itu tidak disamaratakan karena kesalahannya berbeda-beda, tidak jadi Mashuri sampaikan karena Soeharto tidak memberi kesempatan bicara. Beberapa jam kemudian, atas perintah Presiden, Mentri Penerangan mengumumkan pembredelan belasan penerbitan pers yang dituding telah mematangkan kondisi sosial politik bagi pecahnya kerusuhan dan kekerasan pada tanggal 15 Januari 1974. Yang dilarang terbit untuk selamanya di antaranya adalah Abadi, Harian Kami, Indonesia Raya, Nusantara, dan Pedoman.
Bagi Soeharto, pers telah berdosa besar dan harus dihukum keras. Pers dalam berita-beritanya telah membakar rasa anti Jepang hingga aksi mahasiswa semakin panas, dan mengadu domba antara sesama pembantu dekat Presiden. Kemudian Presiden Soeharto memanggil pemimpin-pemimpin redaksi surat kabar terkemuka dalam suatu pertemuan di mana para direktur Astra, Bogasari, Batik Keris, dan Syahid menyatakan bahwa tidak ada keluarga presiden yang tercantum namanya dalam dokumen resmi di perusahaan-perusahaan tersebut. Secara khusus dinyatakan bahwa masalahnya tidak menyangkut pertanyaan apakah keluarga presiden mendapat penghasilan dari perusahaan mereka itu.” (Berita Buana, 22 Januari 1974).
Beberapa surat kabar diberi kesempatan terbit kembali setelah meminta maaf kepada pemerintah. Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama penanam modal Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap asisten pribadi (ASPRI) Presiden Soeharto, yaitu Ali Murtopo, Sudjono Humardani, dan lain-lain, yang memiliki kekuasaan sangat besar.
Ada pula analisa tentang persaingan elite militer, khususnya rivalitas Jendral Sumitro dengan Ali Murtopo. Dalam peristiwa malari, Ali Murtopo asisten pribadi Presiden Soeharto, menuduh kelompok ekstrem kanan (eks PSI dan Masyumi) mendalangi kerusuhan. Namun setelah tokoh peristiwa malari, Syahrir dan Hariman Siregar diadili ternyata tuduhan itu tidak terbukti. Tidak ditemukan fakta keterlibatan mereka. Dalam buku Heru Cahyono dan buku berjudul Pangkopkamtib Jendral Sumitro dan Peristiwa Malari, akhirnya baru diketahui bahwa Jendral Sumitro menyatakan ada kemungkinan Ali Murtopo sendiri yang mendalangi peristiwa malari dan memfitnah umat Islam. Persaingan tajam di kalangan elite militer meningkat dengan mudah ke atas permukaan di saat kritis.
Untuk menutupi kebobrokan di lingkungannya para pemimpin militer telah mencoba melempar kesalahannya kepada PSI yang dibubarkan Presiden Soekarno pada tahun 1960. Mantan pemimpin PSI, Subadio dan Profesor Sarbani, ditahan bersama 40 orang lainnya, bersama pengkritik-pengkritik terkemuka terhadap pemerintah, termasuk beberapa pemimpin mahasiswa. Mereka akan dituntut melakukan perbuatan subversif, dan diancam dengan hukuman yang lama bahkan hukuman mati. Tetapi untuk mengatasi keretakan di tubuh Angkatan Darat tidak tercapai dengan mengkambinghitamkan PSI. Menurut sejarahwan Australia M. C. Ricklefs, peristiwa malari merupakan salah satu huru-hara terburuk di ibu kota, Jakarta, sejak jatuhnya Presiden Soekarno. Dalam Memori Jendral Yoga (1990) peristiwa malari digambarkan sebagai klimaks kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak 1973. Jendral Yoga Sugama sedang di New York saat kerusuhan malari berlangsung. Lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta menggantikan Jendral Sutopo Juwono menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara.
Menurut Jendral Yoga, ceramah dan demonstrasi di kampus-kampus mematangkan situasi, bermuara pada penentangan kebijakan ekonomi pemerintah. Berawal dari diskusi di Universitas Indonesia Jakarta (!3-18 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Syafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan T. B. Simatupang. Disusul peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”. Dalam buku Ramadhan K. H. (1994) dan Heru Cahyono (1998), Jendral Sumitro tampak cenderung menyalahkan Ali Murtopo, rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Sumitro mengungkapkan, Ali Murtopo dan Sudjono Humardani membina dan memanfaatkan orang-orang eks Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dalam Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI).
Pada kasus malari, lewat GUPPI Ramadi dan Kiai Nur dari Banten mengerahkan massa. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simanjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu antara lain perusakan mobil Jepang, kantor toyota Astra dan coca cola, dilakukan untuk merusak citra mahasiswa Indonesia dan memukul duet Sumitro-Sutopo Juwono (Heru Cahyono, 1992 : 166). Sebaliknya “Dokumen Ramadi” mengungkap rencana Sumitro menggalang kekuatan di kampus-kampus, “Ada seorang Jendral berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April-Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh.” Ramadi saat itu dekat dengan Sudjono Humardani dan Ali Murtopo.
Tuduhan dalam dokumen itu mengarah kepada Jendral Sumitro. Pelaku kerusuhan di lapangan dibekuk aparat, tetapi aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan meninggal secara misterius dalam status tahanan. Sebagian sejarah Orde Baru, termasuk peristiwa malari 1974, memang masih gelap.
(Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber, penulis peminat sejarah)
Sumber : www.kabarindonesia.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !