Peringatan Hari Kebangkitan Nasional mengacu pada tanggal didirikannya organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Menyebut Budi Utomo, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari nama Akira Nagazumi, seorang Jepang ahli sejarah Asia Tenggara yang meninggal pada 10 Juli 1987. Karya monumentalnya, The Dawn of Indonesian Nationalism, adalah rujukan utama kajian terhadap Budi Utomo.
Sejak akhir tahun 1940an, 20 Mei memang sudah diperingati sebagai “Hari Kebangunan Nasional”. Tetapi, tidak semua bersepakat dengan keputusan pemerintah ini. Harsja W. Bachtiar misalnya tidak melihat adanya kaitan antara nasionalisme dengan Budi Utomo, karena Budi Utomo masih bersemangat primordial (baca: Jawa dan Madura).
Tapi, membaca buku Nagazumi secara detail, bisa jadi akan menegaskan kembali soal nasionalisme itu, atau setidaknya proto-nasionalisme. Karena itu, bangsa Indonesia sangat berhutang budi kepada Profesor lulusan University of Tokyo itu. Nagazumi mencatat dengan baik jatuh bangunnya Budi Utomo, dinamika internal serta kiprah politik lembaga yang didirikan anak-anak STOVIA itu.
Bangkitnya kesadaran kebangsaan di Indonesia, kata Bernard H. Vlekke (2008, 384) sangat berhubungan erat dengan perubahan yang terjadi di Asia setelah tahun 1900. Salah satu yang menjadi dasar dari kesadaran itu adalah modernisasi yang terjadi di Jepang setelah mereka membantai Rusia pada 1905. Fase tersebut dianggap sebagai fajar baru bagi negara-negara Asia, khususnya mereka yang sedang mengalami penjajahan.
Di luar apa yang disebut Vlekke ini, faktor yang mendasar bagi perubahan kebijakan pemerintah Belanda di Hindia-Belanda (yang kemudian berimbas pada tumbuhnya gerakan kebangsaan) adalah terjadinya persaingan antara kekuatan-kekuatan dunia di Asia Tenggara pada paruh kedua abad 19. (Nagazumi, 1989: 1927) Inggris memperkuat kedudukannya di Singapura, Semenanjung Malaya dan Burma. Sementara Prancis memperluas kekuatannya atas Kamboja dan Laos, menyebabkan Thailand atau Muangthai menjadi satu-satunya negara penyangga yang bebas dari penjajahan. Di Filipina, perang antara Spanyol dan Amerika pada 1898, memerdekakan Filipina dari Spanyol, namun terpaksa harus mengakui kekuasaan Amerika Serikat.
Di tanah air sendiri, pergerakan kebangsaan tidak bisa dilepaskan dari peran Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917). Ia adalah inspirator bagi gerakan kebangsaan pada masa-masa awal 1900. Wahidin kemudian berkeliling mencari dana untuk pendidikan bagi priyayi Jawa.
Gagasan Wahidin itu kemudian ditangkap oleh Sutomo, yang juga mahasiswa STOVIA. Sutomo yakin bahwa rakyat Indonesia sebagian besar menjadi korban kebodohan. Ia yakin bahwa sumber kesejahteraan adalah pendidikan. Nasib bangsa hanya dapat diperbaiki oleh pendidikan. Sutomo menguraikan maksudnya itu pada hari Minggu 20 Mei 1908 saat masuk ruang kelas pertama pada sekolah. Ia menyampaikan maksudnya dengan jelas, tegas dan ringkas.
Nama Budi Utomo sendiri seturut yang disampaikan oleh Soetomo, diusulkan oleh Suradji yang juga teman satu kelas di STOVIA. Inspirasi nama ini didapat dari ungkapan Soetomo kala memuji kekuatan tekad Wahidin untuk melanjutkan perjalanan ke Banten mengenalkan gagasan kebangsaan ini. Soetomo mengatakan, puniko setunggaling padamelan sae serta nelakaken budi utami (ini merupakan perbuatan baik serta mencerminkan keluhuran budi). (Nagazumi, 1989: 58)
Kata “Budi” mencerminkan puncak dari kegiatan moral manusia dan mengendalikan akal dan watak seseorang. Budi Utomo secara harfiah diterjemahkan sebagai usaha bagus atau usaha mulia. Kata sanskerta asalnya adalah bodhi atau buddhi yang berarti keterbukaan jiwa, pikiran, kesadaran, akal atau pengadilan. Kata itu juga berarti daya untuk membentuk dan menjunjung konsepsi dan ide-ide umum. Sementara kata Jawa utomo berasal dari uttama, yang dalam bahasa sanskerta artinya adalah tingkat pertama atau sangat baik.
Refleksi makna “budi” dalam keseharian bisa dimengerti sebagai sifat yang memberikan keseimbangan dan keutuhan pada pengetahuan yang sesungguhnya berkeping-keping. Makna berikutnya adalah ilmu atau kebijaksanaan yang berbeda dari pengetahuan. Apabila pengetahuan terbebas dari moralitas praktis, ilmu adalah pembimbing kea rah apa yang harus dikerjakan.
Dalam praktiknya, budi itulah yang memberikan pemahaman mengenai sifat dan hasil perbuatan yang dilakukannya. Karena itu, budi seolah olah berada di puncak kegiatan mental manusia, dan ialah yang dianggap mengendalikan akal dan watak moral seseorang, oleh karena ia sesungguhnya dia itulah akal dan moral umat manusia. Budi memberikan cahaya pada masyarakat, tetapi ia tidak mengubahnya. Dalam etos Jawa, seseorang yang berbudi akan hidup rukun dengan masyarakat. Kurang lebih begitulah filosofi dari makna budi. Namun, menurut Nagazumi, meski Wahidin memahami betul filosofi Jawa, tetapi nama “budi” sebagai label organisasi sepertinya hanya kebetulan saja.
Visi kebangsaan Budi Utomo memang harus diakui tidaklah merepresentasikan satu pola pemikiran nasionalisme yang holistik. Maksudnya, kesadaran untuk menjadi sebuah bangsa yang berdaulat, memang diawali antara lain oleh kesadaran primordial sebagai bangsa Jawa. Disini justru menarik, karena kesadaran untuk membebaskan diri dari kenyataan yang menindas, merupakan perpaduan antara kematangan ide humanitarianisme, nasionalisme dan sosialisme (barat) dengan filsafat Jawa yang begitu kokoh.
Ide-ide kebangsaan yang berkembang dalam organisasi Budi Utomo, memang bukanlah satu pola yang konfrontatif melawan penguasa Belanda. Mereka berupaya untuk bersabar untuk menunggu saat yang tepat untuk keluar dari belenggu penjajahan. Ini catatan penting Nagazumi tentang Budi Utomo, bahwa ia berhasil memerankan fungsi untuk menjembatani pejabat kolonial yang maju dengan kaum terpelajar Jawa. Dan inilah peran yang sangat penting dalam sejarah Indonesia.
Sumber : elsaonline.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !