Tragedi kemanusiaan dan korupsi politik. Banyak pihak mafhum, kerusuhan Mei pada 13 tahun lalu adalah tragedi nasional yang tidak saja telah meluluhlantakkan kehormatan kemanusiaan serta martabat bangsa dan negara, tetapi sekaligus menjadi penanda dimulainya era reformasi.
Era reformasi seyogianya juga diletakkan sebagai periode delegitimasi atas kekuasaan korup dari rezim otoritarian. Banyak kalangan juga sepakat, kerusuhan dimulai dengan krisis finansial Asia. Pada konteks ini, ada dua hal terjadi, yaitu: pertama, krisis itu mendinamisasi pergulatan elite politik atas kelangsungan kekuasaan yang berujung pada delegitimasi kepemimpinan Soeharto yang juga dipicu dengan tragedi Trisakti karena empat mahasiswa Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Kedua, krisis dimaksud menguat dan jadi faktor determinan disebabkan oleh perilaku koruptif, kolusif dan nepotistik kekuasaan telah berada pada puncak kesempurnaannya sehingga memicu kemarahan publik untuk kemudian mendekonstruksinya.
Oleh karena itu, Tragedi Kemanusian Nasional 12 Mei 1998 dapat dilihat dalam dua perspektif. Pada aras pertama, masalah tragedi nasional dapat diletakkan dalam perspektif kemanusiaan atau hak asasi manusia. Hal ini tidak dapat disalahkan karena ada yang sangat menyakitkan dalam tragedi nasional itu. Rangkaian kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa dimaksud bersifat masif, terstruktur, dan sistematik. Kekerasan ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil berupa bangunan, toko, rumah, dan harta benda lainnya seperti mobil dan motor, tetapi juga korban manusia.
Data tim relawan menyebutkan, ada sekitar 1.220 orang meninggal akibat kebakaran, 27 orang mati akibat senjata, dan 165 orang luka-luka. Yang menarik, kekerasan yang terjadi tak hanya berupa penganiayaan fisik, tetapi juga kekerasan dalam bentuk pemerkosaan dan penganiayaan serta pelecehan seksual. Lebih dari itu, sejumlah korban penculikan hingga kini tak jelas keberadaannya.
Pada perspektif lain, kekuasaan yang otoriter telah menyebarluaskan sikap koruptif, kolusif dan nepotistik. Tindakan dan watak inilah yang jadi faktor utama yang membiarkan dan/atau menyebabkan rentannya ketahanan sistem ekonomi dan keuangan negara. Pada konteks seperti itu, dapat dipastikan, juga terjadi kejahatan kemanusiaan karena tindak korupsi itu membuat tidak bekerjanya secara optimal sistem dan manfaat pembangunan pada sektor-sektor yang menyangkut kepentingan atau pelayanan publik sehingga mengakibatkan masivitas kemiskinan.
Dalam kaitan dengan tragedi nasional Mei, masivitas KKN dalam kekuasaan membuat sistem ekonomi dan keuangan jadi rentan sehingga kolaps ketika terjadi krisis keuangan. Itu sebabnya, kebijakan politik awal pasca-mundurnya Soeharto 21 Mei 1998 merupakan respons konkret atas salah satu tuntutan yang paling mengemuka dalam gerakan mahasiswa pro-reformasi ”hapuskan KKN dan adili koruptor”. Pada saat itu ada komitmen politik yang dibuat MPR dengan membuat ketetapan yang secara eksplisit memperlihatkan keinginan kuat memberantas korupsi serta membentuk penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Pada Konferensi Internasional Antikorupsi ke-11 di Seoul 2003 dikemukakan, korupsi dalam skala sangat besar dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat kemanusiaan. Konferensi itu mendeklarasikan: the large scale corruption should be designated a crime against humanity, as for many around the world it falls into the same category as torture, genocide and other crimes against humanity that rob humans of human dignity.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dibangun suatu interpretasi bahwa kekuasaan dapat dikualifikasi sebagai melakukan tindakan korup bila otoritas dalam kekuasaan tak ditujukan untuk kepentingan dan kemaslahatan publik. Maksudnya, kekuasaan yang dimiliki pejabat publik dan karenanya memiliki kewenangan publik tetapi tidak digunakan untuk melindungi kepentingan publik. Pada konteks penanganan tragedi nasional juga dapat diajukan pertanyaan, apakah kekuasaan dapat dianggap sebagai korup bila tidak menggunakan otoritas kekuasaannya untuk melindungi kepentingan HAM atau tidak melakukan upaya-upaya konkret dan sistematis guna mengatasi dampak dan kerugian dari suatu tragedi.
Bila melihat hasil rekomendasi yang diajukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta yang menyatakan tegas bahwa ”pemerintah perlu sesegera mungkin menindaklanjuti kasus-kasus yang terkait dengan rangkaian tindakan kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-14 Mei 1998... baik terhadap warga sipil maupun militer yang terlibat dengan seadil-adilnya guna menegakkan wibawa hukum termasuk mempercepat proses judicial...”, apakah kekuasaan yang tak melaksanakan rekomendasi dapat dikualifikasi telah melakukan tindakan koruptif sekaligus melakukan pelanggaran HAM?
Berpijak pada keseluruhan uraian di atas, Tragedi Kemanusiaan Nasional 12 Mei 1998 tak hanya sarat pelanggaran HAM sehingga harus dituntaskan penyelesaiannya, tetapi juga salah satu penyebab utama tragedi kemanusiaan yang diakibatkan oleh masivitas KKN yang luar biasa yang pada ujungnya didelegitimasi oleh kekuatan pro-reformasi. Kekuasaan yang dihasilkan reformasi dengan biaya kemanusiaan sangat mahal, tetapi tak menggunakan otoritasnya untuk menangani tragedi kemanusiaan nasional secara amanah, tak hanya kehilangan moralitas kekuasaannya tetapi juga potensial dikualifikasi telah melakukan korupsi politik.
Semoga arwah empat mahasiswa Trisakti dan semua korban tragedi kemanusiaan Mei 1998 diberikan ketenangan, seluruh keluarganya tetap semangat terus memperjuangkan seluruh hak-haknya. Sivitas akademika Universitas Trisakti tetap memberikan inspirasi kemanusiaan dan kejuangan untuk melawan kekuasaan hegemonik yang bersifat privat dan publik. Seluruh mahasiswa tetap jadi penggerak dan pendobrak utama mewujudkan negara hukum yang tak koruptif dan mengedepankan kemanusiaan; dan kekuasaan diberikan kemudahan menegakkan moralitas kekuasaannya untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyatnya.
Bambang Widjojanto Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Sumber : internasional.kompas.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !