Membaca Nietzsche, membebaskan terjemahan konsep ketuhanannya.
by Syifa Amori
Dalam buku Seri Peluncuran Jilid VI “Seri Puisi Jerman”: Syahwat Keabadian, Kumpulan Puisi Friedrich Nietzsche yang baru saja terbit, sastrawan Indonesia Agus R. Sarjono dan pengamat sastra Berthold Damshäuser dari Universitas Bonn, Jerman menjadi editor atas terjemahan puisi-puisi Friedrich Nietzsche.
Melalui kumpulan puisi Nietzsche yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Agus dan Berthold, pembaca Indonesia untuk pertama kalinya dapat memperoleh kesan mendalam tentang perpuisian Nietzsche, yang dalam sejarah sastra Jerman tercatat sebagai prestasi yang unik dan gemilang. Terutama melalui puisinya Nietzsche membuktikan diri sebagai seniman bahasa bertingkat maestro, sehingga ia -di samping Martin Luther dan Johann Wolfgang von Goethe- dianggap pembaharu bahasa Jerman yang terpenting.
Sebagai penyair, Nietzsche diakui canggih mengemukakan pemikirannya dengan gaya penulisannya yang aforistik atau puisi. Ia seolah menentang gaya penulisan sistematis yang seringkali mencirikan diri filsuf akademisi, makanya kemudian ia sering lebih dianggap sebagai seorang sastrawan.
Diluar segi gaya penulisan yang begitu literer, isi pemikiran Nietzsche pun mengundang kontroversi. Yaitu menggugat eksistensi Tuhan ditengah kondisi masyarakat yang ”dombawi” – sebutannya atas wujud kepatuhan yang massal (atau mungkin pandangannya atas konsep religiusitas).
Tidak cuma kontroversial, menyelami kata demi kata dari buah pikirannya, kemuraman dan kesedihan mengemuka hebat sehingga terasa begitu menggetarkannya. Seolah-olah, setiap gagasannya berangkat dari kekecewaan mendalam akan harapan-harapan yang tertanam di benaknya.
”Melihat alasan dia menyair, jelas kalau dia orang yang sensitif. Sensitif yang cenderung bersedih. Karena kesensitifan itu pula dia pandai bermain musik. Dia hebat sebagai pianis dan bahkan juga mengomposisi lagu, mesti tak dikenal sebagai komponis hebat,” kata Berthold Damshäuser dalam diskusi usai Peluncuran Jilid VI “Seri Puisi Jerman”: Syahwat Keabadian, Kumpulan Puisi Friedrich Nietzsche, di GoetheHaus, Senin (20/9).
Kepenyairannya, menurut Agus, membuat Nietzsche mengikuti intuisinya dan mengabaikan keperluan untuk sistematis sebagaimana lazimnya dituntut pada seorang filsuf. ”Namun, dunia yang prosais kerap tidak cukup tahan dengan puisi. Berkali-kali pemikiran Nietzsche yang puitis dengan paksa dicoba menjadi prosa, misalnya oleh Hitler yang membuang kebulatan puitis ’kehendak untuk berkuasa’ yang dikemukakan Nietzsche menjadi kepingan prosa: ‘upaya untuk menguasai’,” kata Agus yang bersama Berhold menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.
Pendapat yang dikemukakan Agus ini seolah membimbing pembebasan interpretasi atas gagasan atau tidak untuk memprosakan hanya sebagian dari syair puisinya, dan apalagi melahirkannya kembali sebagai potongan prosa yang dimaknai begitu dangkal. Termasuk pula mengenai konsep ketuhannannya yang langsung mengguncang segi-segi agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat.
Karya-karyanya bisa meluluhlantakkan keimanan banyak orang, karena menuturkan pendapatnya yang solid soal keantituhanan. Nietzsche, yang paling menyatakan ”Tuhan sudah mati” kiranya adalah filsuf dan penyair yang justru paling intens bergumul dengan tema ketuhanan.
Kenyataan ini melahirkan opini, termasuk dari Agus, bahwa sesungguhnya, Nietzsche menjalani banyak tahapan pengenalan tentang Tuhan. Sejak dia menjadi calon rahib yang didera demam rindu pada Tuhan hingga masa dihadapkan dengan kekecewaan yang mengubah cinta habis-habisannya ada Tuhan menjadi perlawanan, bahkan kebencian.
Tidak mengherankan jika pernyataan super atheistisnya dalam bukunya Sains Girang: ”Tuhan Sudah Mati” – yang terus berlanjut pada karya briliannya Sabda Zarathustra- menunjukkan pengaruh luar biasa bukan hanya dalam menggoyahkan keimanan melainkan juga dalam memperkuat dan memperkokoh keimanan seseorang.
”Sekurangnya ada dua tokoh yang terkena langsung dampak keantituhanan Nietzsche. Mohammad Iqbal menuliskan buku terkenalnya The Reconstruction of Religious Thought in Islam justru setelah membaca karya Nietzsche. Dengan posisi Tuhan sebagai Maha Pencipta, Iqbal mengajak manusia sebagai wakil Tuhan di bumi untuk juga selalu kreatif mencipta menjadi sosok mandiri, sebagai sosok mandiri, hamba Tuhan sekaligus tuan bagi agamanya,” tambah Agus.
Bahkan, konsep Übermensch (purnamanusia) Nietzsche ia terjemahkan secara Islami menjadi Insan Kamil (manusia sempurna) – sebuah terjemahan yang cukup jelas dalam Islam. Agus lantas mengutip sepenggal sajak Iqbal sebagai perbandingan khudi (kekuatan pribadi) dengan kehendak berkuasanya Nietzsche – sebagai unsir terpenting manusia:
Kau ciptakan gulita
Aku ciptakan pelita
Kau ciptakan lempung basah
Aku ciptakan piala gerabah
Kau ciptakan belantara
Aku ciptakan taman bunga
Contoh ini, bagi Agus bukanlah untuk menunjukkan bahwa karya Nietzsche melahirkan dan meneguhkan rasa keimanan umat beragama, melainkan menunjukkan bahwa karangan yang menyerang agama dan bahkan menyatakan ”Tuhan sudah mati” tidak serta merta membuat pembacanya kehilangan iman dan menjadi atheis. Malah, karena dilakukan dengan tulus oleh seorang pencari jiwa sejati, hujatan, dan pengingkaran ini menjadi hal berharga yang mencerahkan jiwa.
Konsep Nietzsche akan purnamanusia yang berujung pada penafikkan Tuhan yang bisa diprosakan sebagai ”izin” menguasai (oleh Hitker) atau malah dorongan untuk bertuhan sebagai hamba yang kamil, (oleh Mohammad Iqbal). Maka, begitu pulalah konsep keTuhanan yang puitis bisa diprosakan menjadi kepingan kerdil – kebenaran pada diri yang mutlak. Yang kemudian bisa menjadi legalisasi penyerangan terhadap penganut konsep ketuhanan dan Tuhan yang berbeda.
Bisa jadi pemaknaan dan pelaksanaan ajaran ketuhanannya yang dangkal dan tidak menyeluruh secara berjamaah (dombawi) tanpa pernah menjadi tuan (khalifah) inilah yang mengantarkan Nietzsche pada keputusan untuk ”membunuh” Tuhannya.
”Tapi Tuhan yang dibunuh oleh Nietzsche itu tak pernah bisa mati, bahkan dalam diri dan kesadaran Nietzsche sendiri, karena ia masih terus menerus memikirkan dan berurusan denganNya sampai akhir hayat,” kata Agus.
Begitulah paradoks anti-Tuhan dan pencarian Tuhan mewarnai karya-karya Nietzsche. Sekuat pertentangan akan petingnya konsep tawa dan kesunyian tanpa tawa yang kerap dieksplorasi Nietzsche. ”Nietzsche memperlihatkan bahwa di dalam diri ada sekian banyak aspek. Dan lebih sulit menginterpretasikan ketika hal yang dianggap kontradiktif timbul dalam satu teks,” tambah Berthold, yang mengutip sebutan unik Nietzsche; ”Atheis yang paling beragama.” .
Kepada Tuhan Tak Dikenal
…
Pada altar itu terukir membara
Sang kata: Kepada Tuhan Tak Dikenal.
Aku milikNya, meski kini
Masih masuk gerombolan penghujat.
Sku milikNya –dan kurasakan jerat
Yang dalam seteru memerosokanku
Dan tetap memaksaku menjadi abdi
Meski kucoba larikan diri.
… (Nietzsche: Musim Gugur 1846)
Seri Puisi Jerman VI ini memuatkan puisi-puisi Nietzsche dari semua fase kepenyairannya, dan disajikan secara kronologis. Yang difokuskan ialah puisi yang ditulis oleh Nietzsche pada puncak kreatifitasnya, yakni ketika ia berumur kira-kira 45 tahun. Misalnya Ditirambos-ditirambos Dyonisos yang secara tematis berkaitan erat dengan mahakarya Nietzsche Demikian Sabda Zarathustra.
Published on Jurnal Nasional, September 2010.
*Personal Dedication from the author to Daniel A. Simanjuntak.
Sumber : budiakmaldjafar.wordpress.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !