I received a chain email on W.S. Rendra, one of the most prominent Indonesian poets, which I find it absolutely fascinating. For long, I have tried to express my opinion on the recent death of Indonesia’s former president Suharto but not as eloquently as he did. My patriotism crumbled knowing that the democracy that we claimed is nothing but a hypocrisy of the the New Order. I am utterly disappointed by the excessive mourning that the media had portrayed; it was more than lamenting, it was as if Indonesians are unconsciously glorifying the culture of the old days where corruption and nepotism were the sole rule of the jungle.
Here’s what he said.
—
Malam minggu. Hawa panas dan angin seolah diam tak berhembus. Malam ini saya bermalam di rumah ibu saya. Selain rindu masakan sambel goreng ati yang dijanjikan, saya juga ingin ia bercerita mengenai Presiden Soekarno. Ketika semua mata saat ini sibuk tertuju, seolah menunggu saat saat berpulangnya Soeharto, saya justru lebih tertarik mendengarpenuturan saat berpulang Sang proklamator. Karena orang tua saya adalah salah satu orang yang pertama tama bisa melihat secara langsung jenasah Soekarno.
Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru pulang berbelanja, mendapatkan Bapak (almarhum) sedang menangis sesenggukan.
“Bung Karno seda” ( meninggal )
Dengan menumpang kendaraan militer mereka bisa sampai di Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan darikesatuan lain kecuali 3 truk berisi prajurit Marinir ( duluKKO ). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono – Panglima KKO – pernah berkata ,
“Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata BungKarno, merah kata KKO”
Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno menolak untuk turun, dia dengan mudah akan melibas Mahasiswa dan Pasukan Jendral Soeharto, karena dia masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya dan terutama Siliwangi dengan panglimanya May.Jend Ibrahim Ajie.
Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini. Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi pertumpahan darahsebuah bangsa yang telah dipersatukan dengan susah payah. Ia memilih sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjaditumbal sejarah.
The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun menyisakan ruang bagi mereka yang kalah. Soekarno harus meninggalkan istana pindah keistana Bogor. Tak berapa lama datang surat dari Panglima Kodam Jaya – Mayjend Amir Mahmud – disampaikan jam 8 pagi yang meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam11 siang.
Buruburu Bu Hartini, istri Bung Karno mengumpulkan pakaiandan barang barang yang dibutuhkan serta membungkusnya dengan kain sprei. Barang barang lain semuanya ditinggalkan.
“Het is niet meer mijn huis” – sudahlah, ini bukan rumahsaya lagi , demikian Bung Karno menenangkan istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu Tulis sebelum akhirnya dimasukan kedalam karantina di WismaYaso.
Beberapa panglima dan loyalis dipenjara. Jendral IbrahimAdjie diasingkan menjadi dubes diLondon. Jendral KKO Hartono secara misterius mati terbunuh di rumahnya.
Kembali ke kesaksian yang diceritakan ibu saya. Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno sendiri. Tak tahu apa mereka masih di RSPAD sebelumnya. Jenasah dibawa ke Wisma Yaso.
Di ruangan kamar yang suram, terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial Belanda. Terbujur dan mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta! dan Ali Sadikin – GubernurJakarta- yang juga berasal dari KKO Marinir.
Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warnamerah serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak bengkak dan rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin berAC danpenuh dengan alat alat medis disebelah tempat tidurnya. Yang ada hanya termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik seperti nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tidak ada gordennya. Dari dalam bisa terlihat halaman belakang yang ditumbuhi rumput alang alang setinggi dada manusia !
Setelah itu Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan keatas karpet di lantai di ruang tengah
Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang disana sungkem kepada jenasah, sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.
Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator. Walau dalam Bung Karno berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana Batu Tulis Bogor, Pihak militer tetap tak mau mengambil resiko makam seorang Soekarno yang berdekatan dengan ibukota.
Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan terakhir.
Tentu saja Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini.
Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa,”Bung karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara yang amat kasar, dengan memukul mukul meja dan memaksakan jawaban”.
“Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno, penyakitnya makin parah karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan. “( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 )
Ddr. Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tigaperawat Bung Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9 Juni 1970serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan telahterjadi penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B,B12 dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah.Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal.
Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah tidak diberikan. ( Kompas 11 Mei 2006 )
Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut, “BungKarno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi dari Kowad.” ( Kompas 13 Januari 2008 )
Sangat berbeda dengan dengan perlakuan terhadap mantan Presiden Soeharto, yang setiap hari tersedia dokter dokterdan peralatan canggih untuk memperpanjang hidupnya, dan masih didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang dituduhkan.
Sekalipun Soeharto tidak pernah datang berhadapan dengan pemeriksanya, dan ketika tim kejaksaan harus datang ke rumahnya di Cendana. Mereka harus menyesuaikan dengan jadwal tidur siang sang Presiden !
Malam semakin panas. Tiba tiba saja udara dalam dada semakin bertambah sesak. Saya membayangkan sebuah bangsa yang menjadi kerdil dan munafik. Apakah jejak sejarah tak pernah mengajarkan kejujuran ketika justru manusia merasa bisa meniupkan roh roh kebenaran ?
Kisah tragis ini tidak banyak diketahui orang. Kesaksian tidak pernah tenjadi hakiki karena selalu ada tabir tabir di sekelilingnya yang diam membisu.
Selalu saja ada korban dari mereka yang mempertentangkan benar atau salah.
Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif.
Kesadaran adalah Matahari, Kesabaran adalah Bumi
Keberanian menjadi cakrawala dan Perjuangan adalah pelaksanaan kata kata.
(* WS Rendra)
Sumber : budiakmaldjafar.wordpress.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !