Banyak orang beranggapan lebaran sama dengan Idul Fitri. Tapi sebenarnya ada perbedaan mencolok antara keduanya. Idul Fitri memang sama di seluruh dunia, tapi lebaran khas Indonesia. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya "Islam Aktual" menyatakan lebaran merupakan salah satu contoh manis bagaimana idiom-idiom Islam diterjemahkan secara kreatif ke dalam budaya Indonesia. Ringkasnya, lebaran tidak sama persis dengan Idul Fitri. Lebaran adalah sejenis Idul Fitri, di antara berbagai Idul Fitri di seluruh dunia.
Lebaran memang memiliki keunikan tersendiri. Hanya di Indonesia kita bisa menemukan suara gemuruh takbir berkumandang yang sering dilakukan dengan pawai kenderaan berkeliling kota dan desa serta diiringi suara bedug yang menyentuh kalbu. Hanya di Indonesia, kita menemukan arus mudik; penumpang yang rela berdesakan dengan bawaan yang berat, menempuh berbagai rintangan dan berani menantang maut di jalanan asalkan bisa sampai ke kampung halaman.
Mungkin hanya di Indonesia, lebaran dijadikan hari khusus bersilaturrahim atau biasa disebut "halal bihalal"—sebuah istilah mirip Bahasa Arab, tapi jika ditanyakan ke orang Arab apa maksud istilah itu, orang Arab dipastikan bingung karena halal bihalal tidak pernah dikenal di negara-negara Arab. Halal bihalal seolah-olah menunjukkan lebaran sebagai tempat perilaku yang halal setelah pada hari-hari yang lain kita melakukan yang haram. Mungkin juga maksud halal bihalal adalah momentum yang tepat atau halal untuk bersilaturrahim ke sanak keluarga, kerabat dan tetangga.
Silaturrahim tidak saja ditujukan kepada mereka yang masih hidup, tapi juga kepada yang sudah meninggal. Umumnya masyarakat kita melakukan ziarah kubur pada hari-hari terakhir sebelum masuk bulan Ramadhan. Namun tidak sedikit umat Muslim yang setelah melaksanakan Salat Id, kemudian berziarah ke makam orang tua, keluarga dan kerabatnya. Tujuannya mungkin untuk melepas rasa rindu kepada orang tua atau keluarga yang telah mendahului, sekaligus berbagi kebahagiaan atau kesedihan, ada juga yang curhat, atau paling bagus untuk mengingat kematian agar tidak terlalu senang dan lupa diri di hari lebaran.
Bagi sebagian besar masyarakat kita, lebaran harus disambut dengan yang serba baru; pakaian baru, sepatu baru, mukena dan sarung baru, kenderaan baru, rumah-rumah yang sudah kusam diperbaiki dan dicat kembali agar tampak seperti baru. Dan untuk mempersiapkan semua yang baru-baru itu dilakukan sebelum atau pada saat Ramadhan. Jangan heran jika pengeluaran dan anggaran belanja membengkak di bulan Ramadhan dan saat lebaran. Akibatnya, bulan Ramadhan yang seharusnya diisi dengan kegiatan ibadah, sering diabaikan demi untuk memenuhi kebutuhan lebaran. Sepuluh hari terakhir Ramadhan yang dalam ajaran Islam terdapat Malam Lailatul Qadar diplesetkan buat ibu-ibu menjadi "Malam lailatul bakar" karena para ibu sibuk memanggang kue-kue lebaran di malam harinya.
Masih banyak lagi berbagai keunikan lebaran; masalah THR, petasan dan kembang api, orang berebutan zakat, orang tidak puasa tapi ikut lebaran, dan berbagai hal yang tidak mungkin ditulis lebih lanjut. Dan itulah realitas lebaran di masyarakat kita. Bandingkan dengan Idul Fitri sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Sungguh tidak relevan untuk menyatakan bahwa tradisi mudik, ziarah kubur, bersalaman khusus pada saat lebaran, dan pakaian serba baru itu termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena memang semua itu bukan amalan Idul Fitri. Semua itu hanyalah tradisi lebaran.
Sumber : analisadaily.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !