mas template
Headlines News :
mas template
Home » » Hari-hari terakhir ~Tah ieu teh Hudaibiyah ~

Hari-hari terakhir ~Tah ieu teh Hudaibiyah ~

Written By maskolis on Sunday, 18 September 2011 | 23:38

Pada tanggal 15 Mei 1962, Kartosoewirjo, mendapat laporan bahwa pasukan DI/TII yang tersebar di gunung Cakrabuana, gunung Guntur serta gunung Galunggung telah kocar-kacir. Tak hanya itu, juga mendengar kondisi fisik pasukannya kian lemah, kehabisan tenaga. Kondisi yang tak jauh beda dengan dirinya. Saat itu Sang Imam ini sedang sakit, Ia menderita penyakit gula serta kurang gizi. Sembari tergolek lemah, ia mendapat laporan dari ajudannya bahwa TNI yang sudah dekat dengan rombongan yang berjumlah 46 orang. Muhammad Darda, Komandan Markas serta Aceng Kurnia, ajudan Kartosuwirjo telah bertekad akan perang mati-matian kalau musuh datang.

“Kalau musuh datang, kita akan tembak. Menyerah berarti dosa. Kita harus siap yuqtal au yaglib (membunuh atau terbunuh)”, tegas Dodo Muhammad Darda. Mendengar ucapan anaknya itu, Kartosoewirjo diam sejenak. Setelah itu ia berkata ” Kondisi saat ini sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk Yuqtal au Yaglib“. Seorang pemimpin bisa memberi komando perang kalau ada tenaga, senjata serta keberanian tempur. kalau itu tidak ada, yuqtal au yaglib menjadi dzolim karena tak memenuhi syarat. “Dalam kondisi sekarang, kalau musuh datang biar Bapak yang menghadapi. Urusan-urusan lain biar Bapak yang selesaikan. Yang penting kalian taati kendati tidak ikhlas maupun tidak ridha”.
Pada 2 Juni 1962, terjadi lagi percakapan antara Aceng Kurnia, Dodo Muhammad Darda dengan Sang Imam. Aceng Kurnia yang menjadi Komandan regu pengawal Imam menceritakan pengalamannya yang mengusik pemikirannya, bahwa ia pernah merasakan seolah-olah berada dalam keadaan antara mimpi dan kenyataan. Dalam mimpinya itu, ia seperti sedang diperlihatkan kepada gambaran masa depan hidup berbaur dengan musuh. Mimpi serupa juga dialami oleh Dodo. Bahkan Dodo dalam mimpinya melihat seorang tentara DI/TII setingkat komandan regu sedang berjualan es dawet di tengah-tengah masyarakat, berjualan dari satu kampung ke kampung lain. Mengomentari kedua orang tersebut, Kartosoewirjo menegaskan bahwa itu tanda perubahan perjuangan dalam beberapa tahun ke depan. Ia juga kembali menegaskan sikapnya bahwa kondisi saat ini tak memenuhi syarat lagi untuk berperang. Dia juga menegaskan kepada keduanya, “Lain kudu ridho, tapi narima kana rukun iman nu ka genep, bi syarrihi wa khoerihi“ (Tidak harus ridho, tetapi menerima terhadap rukun iman yang keenam, baik dalam keadaan baik maupun keadaan buruk).

Pada 4 Juni 1962, perjalanan rombongan Kartosoewirjo telah sampai di sebuah lembah antara gunung Sangkar dan gunung Geber, disekitar Bandung Selatan. Pagi itu hujan deras yang disertai angin kencang mengguyur daerah itu. Pasukan DI/TII pun memilih berteduh di tenda-tenda darurat. Tak disangka, terdengar suara tembakan dari bawah bukit. Pasukan yang berkekuatan tiga peleton itu telah mengepung rombongan Sang Imam. Aceng Kurnia segera melapor. Semua pengawal yang berada disekitar sang Imam bersiap-siap dengan senjatanya. Mereka bertekad akan perang sampai mati. Aceng Kurnia dan Dodo sudah berada dalam posisi siap tembak. Ketika pasukan TNI sudah semakin dekat ke tenda yang ditempati Kartosoewirjo, tiba-tiba Kartosoewirjo yang sedang dalam keadaan berbaring berkata :”Ulah nembak, ngagugu kahayang Muh (Dodo) wae mah atuh beak mujahid” (Jangan menembak, Kalau mengikuti keinginan Dodo, semua mujahid bakal habis). Mendengar perintah ini, Aceng Kurnia dan Dodo pun meletakan senjatanya. Mereka keluar sambil angkat tangan. Di luar mereka disambut oleh Letda Suhanda yang didampingi dua anggotanya, Amir dan Suhara. Letda Suhanda kemudian menyalami keduanya sambil bertanya. “Mana Pak Imam?” “Tah eta” (itu dia) kata Dodo sambil menunjukan tenda. Suhanda pun masuk kedalamnya. Kartosoewirjo tampak dalam keadaan payah dan berbaring di lantai gubuk itu dan mengenakan jaket militer dan sebuah sarung. Meskipun saat ditangkap dia berusia 55 tahun, tapi dia kelihatan seperti seorang lelaki tua yang lebih dari umurnya.

Setelah itu, tanpa banyak bicara, Suhanda memerintahkan anak buahnya membuat tandu. Aceng Kurnia dan Dodo kemudian membangunkan Kartosoewirjo dan memapahnya ke arah tandu. Saat itu, tiba-tiba Kartosoewirjo berbisik, “Tah ieu teh Hudaibiyah jang urang mah. (Inilah Hudaibiyah bagi kita)”. Perkataan itu diucapkan tiga kali masing-masing sambil menengok kepada Aceng Kurnia satu kali, Dodo sekali dan yang ketiga sebagai penegasan.

Dua hari setelah penangkapan, Kartosoewirjo memerintahkan Dodo Muhammad Darda untuk mengeluarkan seruan kepada pasukan TII yang ada di gunung agar turun dan meletakan senjata. Awalnya perintah itu tak dituruti oleh Dodo, karena ia merasa tak berwenang mengeluarkan perintah. Sebagai Komandan Markas ia tidak memiliki hubungan administrasi, kecuali dengan sesama anggota markas. Dodo merasa bahwa perintah Imam kali ini adalah sesuatu yang berat baginya, dan ia pun telah mempertimbangkan dampak pelaksanaan perintah tersebut. Akibatnya terjadilah perdebatan antara Dodo dengan Kartosoewirjo. Menurut Dodo, ia hanya bisa membuat seruan tersebut kepada Tahmid Rahmat Basuki (Komandan Kala), sedangkan kapada yang lain tidak bisa. “Kalau begitu”, kata Imam, “Perintah ditujukan kepada Tahmid dan berlaku untuk semua.” Akhirnya Dodo pun menyetujui bagi melaksanakan perintah ayahnya.

Kemudian, Dodo bersama-sama dengan Ibrahim Ajie, panglima KODAM Siliwangi menyusun seruan itu. Sempat terjadi perdebatan antara Dodo dengan Ibrahim Ajie. Ibrahim Ajie meminta kepada Dodo untuk memasukan kalimat yang mengatakan bahwa Jihad DI adalah keliru dan harus kembali ke jalan yang benar. Dodo menolaknya, dia bersikukuh hanya akan membuat seruan yang berisi perintah turun gunung. Ibrahim Ajie pun mengalah. Akhirnya dibuatlah seruan itu yang isinya, antara lain meminta Tahmid Basuki selaku Komandan Kala beserta seluruh rombongannya untuk menyerahkan diri. Disebutkan juga bahwa para pejuang NII diminta menghentikan tembak menembak dengan tentara TNI. Selain itu, disebutkan juga bahwa Kartosoewirjo bertanggungjawab atas semua tindakan pasukan NII.

Lengkapnya seruan tersebut berbunyi sebagai berikut :

  • Saya Moh. Darda selaku Komandan Bantala Seta, atas nama dan atas perintah bapak S.M. Karosoewirjo, mengharapkan kepada saudara Tahmid Basuki selaku Komandan Kala beserta seluruh rombongan, agar turun bersama-sama mengikuti bapak (S.M. Kartosoewirjo) segera seterimanya seruan dan perintah ini.
  • Semua tindakan saya dan tindakan saudara-saudara beserta seluruh Djami’atul Mudjahidin, dipertanggungjawabkan sepenuhnya lahir dan bathin dunia akherat oleh bapak S.M. Kartosoewirjo. Insya Allah Amin.
  • Perlu diketahui bahwa S.M. Kartosoewirjo dalam kedudukannya selaku Imam – Panglima Tertinggi Angkatan Perang Negara Islam Indonesia sudah memerintahkan untuk menghentikan tembak-menembak antara Angkatan Perang NII dan TNI, dan bagi rombongan bersama sudah dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1962 jam 11.35.
  • Agar dimaklumi, bahwa S.M. Kartosoewirjo bersama saya, Aam (Aceng Kurnia, kepala pengawal pribadi S.M. Kartosoewirjo) serta anak-anak sudah selamat ada dilingkungan RI dengan mendapat perawatan baik dan menggembirakan, pada tanggal 4 Juni 1962 jam 12.00
  • Semuanya itu berlaku bagi pak Widjaya dan semua Djami’atul Mudjahidin, Insya Allah Amin.
  • Kami bersama bapak menanti kedatangan saudara-saudara
Seruan ini memicu berbagai reaksi. Ada sebahagian pasukan yang tersebar di gunung yang percaya kemudian menyerahkan diri. Misalkan yang dilakukan oleh Agus Abdullah pada 20 Juni meletakan senjata dan melaporkan diri ke pos TNI di Cipakur. Ada lagi yang tak percaya termasuk Tahmid Rahmat Basuki. Ketika ia mendengarkan seruan itu di radio, ia menafsirkan terbalik. Ia menganggap seruan itu bahasa sandi yang artinya dilarang turun gunung dan melanjutkan pertempuran. Karenanya, bersama pasukan ia berangkat ke gunung Ciremai dan berniat bergabung dengan pasukannya Agus Abdullah. Namun rencana itu tak kesampaian, dalam perjalanan ke gunung Ciremai itulah dia tertangkap.

Kartosoewirjo dirawat selama dua bulan. Agustus 1962 kondisinya mulai pulih. Pemeriksaan pun dimulai. Selain dirinya, 11 orang saksi ikut diperiksa. Pemeriksaan berjalan amat singkat. Pada bulan yang sama, Kartosoewirjo diajukan ke pengadilan Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang Untuk Jawa dan Madura alias Mahadper. Tiga kejahatan dituduhkan kepadanya. Pertama, makar untuk merobohkan negara Republik Indonesia. Kedua, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah. Ketiga, makar untuk membunuh Soekarno. Dalam sidang yang ketiga, pengadilan memutuskan Kartosoewirjo terbukti bersalah. Pengadilan menjatuhi hukuman mati.

Awal September 1962, Kartosoewirjo menyusun surat wasiat. Surat itu terdiri dari empat bagian. Dua bagian merupakan pesan untuk pengikutnya, dua lagi untuk keluarganya. Khusus pesan bagi para pengikutnya, ia menegaskan bahwa hingga detik terakhir ia tetap bertindak dan berbuat selaku Imam Panglima Tertinggi ANgkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII). Dia juga menegaskan kembali apa yang telah dilakukannya semuannya merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Dia juga yakin bahwa suatu waktu cita-cita Negara Islam bakal terlaksana walaupun lawan menentangnya.
Esok harinya 5 September 1962 Kartosoewirjo dibawa regu tembak ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Pukul 5.50 pagi tepat, regu tembak melakukan eksekusi mati. Jenazah Kartosoewirjo pun dikebumikan di pantai pulau tersebut.

Referensi :

  • NII Sampai JI Salafi Jihadisme Di Indonesia, Solahudin, Komunitas Bambu, Mei 2011
  • Siliwangi Dari Masa Ke Masa, Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi, Fakta Mahjuma, Juni 1968
Sumber : serbasejarah.wordpress.com
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

mas template
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. MASKOLIS - All Rights Reserved
maskolis
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya