Di balik gemerlapnya Kuta sebagai kota wisata internasional, namun masih menyisakan sisi kehidupan memprihatinkan yang dialami anak-anak yang kerap dieksploitasi di jalanan sejak sore hingga dini hari. Dua gadis asal Kabupaten Karangasem siang itu tertawa renyah layaknya usia anak-anak umumnya namun dengan cekatan menjinjing mengangkat keranjang sebagai sumber periuk nasinya di atas kepala, guna menawarkan jasa angkat barang kepada warga yang berbelanja di Pasar Badung. Separuh lebih hari-harinya dihabiskan di pasar untuk mendapat pundi-pundi rupiah tanpa mempedulikan kesehatan dan masa depannya kelak.
Di Pasar Badung dan Pasar Kumbasari, yang berlokasi di jalan Gajah Mada, Denpasar, terdapat profesi khas yang biasa digeluti para wanita Bali, yang lazim disebut Tukang Suun atau tukang jinjing atau angkat barang. Berbekal keranjang besar, yang ditaruh di atas kepalanya, mereka mampu mengangkat beban cukup berat hingga 30 kilogram dengan imbalan ongkos Rp5 sampai 10 ribu.
Hanya saja, profesi yang biasa digeluti wanita dewasa itu, ternyata tak sedikit dilakoni bocah-bocah ingusan di bawah usia 12 tahun. Mereka sehari-harinya menghabiskan waktu di pasar berharap ada orang yang menyewa tenaganya. Seperti dua gadis Ketut Dewi (6), dan Ketut Syntia (7) yang kerap mangkal di Pasar Badung.
"Bu, Pak, Om, suun suun," demikian ucapan akrab para tukang suun tersebut.
Jika melihat ada warga yang berbelanja, maka dia pun setia mengikutinya sembari menawarkan jasa angkat barang. Biasanya ibu-ibu yang belanja cukup banyak memanfaatkan jasa mereka. Satu persatu barang belanja dimasukkan dalam keranjang yang dijinjing di atas kepala tukang suun, lalu diantarkan sampai tempat tujuan seperti di lokasi parkir kendaraan warga yang meminta jasanya.
Di sela-sela menunggu warga yang akan meminta jasanya, Dewi dengan wajah riang polos menceritakan kesehariannya mulai beraktivitas di pasar yang tidak pernah berhenti itu. "Saya bangun pukul 6 pagi terus ke pasar, pulang pukul 8 malam," aku Dewi yang bekerja keras seperti itu sejak usia lima tahun.
Dewi bersama ibunya yang juga berprofesi sama tinggal di rumah kos di sekitar Terminal Ubung berangkat kerja berjalan kaki ke pasar yang berjarak sekira 2 Km. "Kadang ada yang kasih dua ribu, Rp5 ribu. Kalau ada yang kasihan diberi Rp10 ribu," katanya terus terang. Dalam sehari Dewi bisa mendapatkan uang hingga Rp30 ribu, namun semua hasil jerih payahnya itu diberikan kepada sang ibu.
Meski bekerja cukup berat, namun Dewi tetap menikmatinya meskipun terkadang ingin bersekolah seperti anak anak lain seusianya. "Ibu tidak kasih saya sekolah, katanya tidak ada biaya," ucapnya. Praktis sehari-hari waktu Dewi dihabiskan di Pasar meskipun harus bergelut panas, dingin, terlebih dirinya tidak pernah memakai sandal sebagai alas kaki alias bertelanjang kaki.
Dewi mengaku tidak pernah libur bekerja, kecuali jika dirinya sakit, maka diapun hanya tinggal di rumah kos orang tunya. "Kalau sakit ya ibu belikan obat di warung," terangnya. Dewi masih memiliki dua adik sementara ayahnya memilih tinggal di rumahnya di desa Tianyar Kecamatan Kubu, Karanasem, Bali.
Hal agak berbeda disampaikan Syntia, sebab dia mengaku tidak ingin sekolah seperti teman temamnya. "Saya ingin seperti ini aja jadi tukang suun," akunya polos. Dua bocah tersebut adalah potret kemiskinan di Bali di mana kedua orang tuanya cenderung mengeksploitasi tenaganya untuk pekerjaan kasar dan berat. Di pihak lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali bahkan telah mempresentasikan hasil risetnya terhadap gepeng dan pekerja anak yang menjadi tukang suun (buruh angkut) di Pasar Badung selama akhir 2009.
Sedikitnya terdapat 300 tukang suun dan gepeng anak yang beroperasi di Pasar Badung. Hanya 31 orang anak berusia 7-18 tahun yang berhasil diwawancara mendalam. Ratusan anak-anak ini bekerja dalam tiga shift selama 24 jam. "Sebanyak 95 persen tidak pernah sekolah, sisanya pernah sekolah kelas 1-2 SD saja," ujar dr Sri Wahyuni, Ketua KPAID Bali dalam sebuah kesempatan kepada wartawan.
Mereka tinggal bersama saudara atau temannya di kos-kosan di sekitar Denpasar seperti di Jalan Gunung Agung dan Ubung, namun kondisinya mengenaskan. "Mereka sewa satu kamar kecil berisi 3-5 orang, bercampur antara anak dan dewasa," kata Sri Wahyuni. Pemerintah tidak bisa menjangkau mereka karena seluruh pekerja anak dan orang tuanya ini tak bisa mengakses program kesehatan gratis, yakni Jaringan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) lantaran tak punya KTP dan kartu keluarga.
Semoga artikel ini dapat membuka mata hati kit, betapa beuntungnya kita yang masih memiliki masa kecil yang bisa di bilang bahagia. Bandingkan dengan anak-anak diatas yang harus bekerja keras menghabiskan masa kecinya dengan mencari nafkah mengharap belas kasihan dari orang lain. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari sepenggal cerita di atas. Masih banyak anak-anak yang harus mencari nafkah dengan pekerjaan yang dilakukan oleh orang dewasa.
Sumber : news.okezone.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !