Penghargaan bergegsi seperti halnya hadiah Nobel selalu menyimpan berbagai cerita menarik. Jarang terjadi penghargaan ini jatuh dua kali ke tangan orang yang sama. Tapi ada dua orang yang beruntung dalam hal ini, yaitu Marie Curie, yang mendapat dua Nobel, masing-masing untuk bidang Fisika dan Kimia, dan John Bardeen, yang dua kali mendapat Nobel dalam bidang Fisika. Kedua hadiah Nobel bidang Fisika dan Kimia yang diperoleh Marie Curie sebenarnya berkait dengan hal yang sama, yaitu penemuan efek radioaktif pada bahan yang kemudian dinamakan Radium dan Polonium. Henri Becquerel telah lebih dulu menemukan fenomena radiasi spontan pada Uranium, sedangkan Marie Curie bersama suaminya Pierre Curie terinspirasi oleh penemuan Becquerel dan mengadakan penelitian pada bahan lain yang kemudian disebut Radium dan Polonium.
Jadi, dalam bidang Fisika, kontribusi Henri Becquerel dianggap lebih besar dari Marie Curie. Maka tidak heran kalau hadiah Nobel Fisika yang diterimanya pada tahun 1903 tidak sama besarnya dengan yang diterima oleh Becquerel (Marie dan Pierre Curie masing-masing memperoleh 1/4 bagian, sedangkan Henri Becqurel mendapat 1/2 bagian). Tetapi kelebihan Marie Curie atas Becquerel adalah bahwa ia mempelajari lebih lanjut karakteristik bahan Radium dan Polonium yang kelak bermanfaat bagi perkembangan dunia Kimia. Karena itulah ia beberapa tahun kemudian ia juga dianugerahi hadiah Nobel dari bidang Kimia pada tahun 1911. Sedangkan Becquerel tidak pernah mendapat hadiah Nobel Kimia.
John Bardeen sementara ini adalah satu2nya orang yang pernah mendapat hadiah Nobel Fisika dua kali. Yang pertama pada tahun 1956 (bersama W. Shockley dan W.H. Brattain) untuk penemuan efek transistor pada semikonduktor pada tahun 1947. Nobel Fisika yang kedua diperolehnya pada tahun 1972 untuk penemuan teori superkonduktivitas (bersama Leon Cooper dan J.R. Schrieffer, terkenal dengan teori BCS yang dipublikasikan tahun 1956).
Ada cerita menarik seputar penemuan teori BCS yang terkenal itu. J. Bardeen adalah fisikawan langka yang mampu menangkap inspirasi yang melahirkan ide hebat pada masa yang berbeda dan subject yang berbeda. Yang pertama bidang semikonduktor yang melahirkan penemuan transistor (tahun 1947). Yang kedua bidang teori kuantum makroskopik yang melahirkan teori superkonduktivitas. J.R. Schrieffer waktu itu adalah murid PhD-nya J. Bardeen. Sedangkan Leon Cooper adalah postdoc-nya. Bardeen sadar inspirasinya tidak serta merta dapat dituangkan dalam bentuk rumusan yang mudah untuk menjelaskan gejala mikroskopik dari superkonduktivitas. Karena itu ia merasa perlu mempekerjakan orang yang dapat membantunya memformulasi intuisinya. Karena itulah ia mempekerjakan Leon Cooper, yang notabene background-nya adalah High Energy Physics, sebagai postdoc. Lalu ia menugaskan J.R. Schrieffer (muridnya) untuk bekerja bersama Cooper di bawah bimbingannya.
Mula-mula (entah ini idenya Bardeen atau Cooper, atau ide bersama) Cooper mencoba mensimulasi (yang kemudian terkenal dengan Cooper’s problem) keadaan di mana seandainya semua elektron di dalam bola Fermi tidak berinteraksi, tetapi ada 2 elektron di permukaan bola Fermi yang mengalami interaksi tarik-menarik (misalnya karena dimediasi oleh fonon), maka kedua elektron ini menjadi terikat (membentuk pasangan yang disebut pasangan Cooper) untuk mendapatkan keadaan stabil. Selanjutnya, berangkat dari justifikasi adanya Cooper pairs ini, J.R. Schrieffer mengerjakan perhitungan mekanika kuantum makroskopiknya, yang akhirnya mampu menjelaskan fenomena-fenomena superkonduktivitas.
Memang Leon Cooper dan J.R. Schrieffer akhirnya sama-sama mendapat hadiah Nobel bersama Bardeen. Tetapi sesungguhnya inspirasi Bardeen-lah yang menentukan lahirnya teori mereka itu. Jadi, Bardeen beruntung karena mendapat inspirasi, Cooper dan Schriffer beruntung karena diajak bekerja bersama Bardeen yang akhirnya menghasilkan hadiah Nobel. Sangat langka fisikawan seperti Bardeen yang beruntung menangkap inspirasi hebat yang melahirkan penemuan ‘maha penting’ untuk kedua kalinya di area yang berbeda (semikonduktor yang lebih bernuansa teknis dan ‘macroscopic quantum system’ yang bernuansa sangat teoretis). Einstein, Landau, dan Feynman yang (mungkin) IQ-nya lebih tinggi dari Bardeen saja hanya mampu melahirkan satu hadiah Nobel. Ini dikarenakan karya-karya mereka selebihnya tidak pernah diakui sama pentingnya dengan kontribusi mereka terdahulu yang menghasilkan hadiah Nobel.
***
Selain cerita yang rada teknis seperti diatas, ada juga cerita lain yang lebih menonjolkan sisi ‘manusiawi’ para Nobelis. Marie Curie misalnya, pernah ditekan oleh komite Nobel untuk mengembalikan hadiah Nobel yang diterimanya untuk bidang Kimia karena skandal selingkuhnya dengan rekan sesama Ilmuwan (Marie saat itu sudah berstatus janda, tetapi pasangan selingkuhnya masih punya isteri sah). Marie yang tahu bahwa tekanan tersebut tidak lebih dari ‘gertak sambal’ belaka menolak untuk mengembalikan hadiahnya. Alasannya logis saja; hadiah tersebut diberikan untuk kontribusinya dalam bidang sains, dan tidak ada hubungannya dengan persoalan pribadi. Kenyataannya, setelah menerima jawaban Marie itu, komite Nobel tidak lagi memperpanjang persoalan tersebut.
Alasan Marie ini ada benarnya, lagipula kalau soal prilaku moral juga dijadikan patokan dalam pemberian hadiah Nobel, maka Albert Einstein dan Erwin Schrodinger juga harus mengembalikan hadiah Nobelnya. Anak pertama Einstein dengan Mileva Maric lahir diluar nikah, sementara tentang Schrodinger, siapa yang tidak tahu ‘reputasi’ ilmuwan yang satu ini dalam soal main perempuan? Bahkan konon, persamaan gelombang Schrodinger (yang kelak membawanya meraih Nobel Fisika pada 1933) itu terlintas di otaknya saat dia sedang … yah, begitulah tapi saya tetap kagum juga, bagaimana mungkin dia masih sempat-sempatnya berpikir tentang fisika ketika sedang 'begituan'.
Sumber : blog.dhani.org
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !