Sjahrir merupakan satu dari sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis dalam kecamuk revolusi. Ada dua orang yang pemikirannya populer dan dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Sjahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang. Sjahrir menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II.
Tulisan-tulisannya inilah yang membuatnya tampak berseberangan dengan Soekarno yang mengandalkan politik masa. Pada bulan November 1945, Sjahrir yang didukung pemuda ditunjuk oleh Soekarno untuk menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Sjahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Karir Sjahrir tidak sepenuhnya mulus karena sikap Sjahrir yang cenderung mengedepankan diplomasi dalam upaya merebut kemerdekaan Indonesia. Puncaknya ketika kabinet Sjahrir hanya menuntut pengakuan atas kedaulatan Jawa dan Madura yang melawan arus besar pada saat itu yang menginginkan kedaulatan penuh atau angkat senjata. Pada tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan atas Sjahrir oleh kelompok yang tidak puas, namun Mayjen Sudarsono dan pimpinan pemberontak berhasil ditangkap. Peristiwa ini dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.
Setelah kejadian penculikan Sjahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Sjahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggar Jati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946. Sjahrirpun terus melakukan siasat diplomasi.
Dengan siasat-siasat tadi, Sjahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dan lain-lain.
Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Sjahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri. Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947.
Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB, berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia. Sjahrir menyatakan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial.
Kemudian, secara piawai Sjahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Sutan Sjahrir dan Presiden Soekarno memburuk. Tahun 1962 hingga 1965, Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Sjahrir diijinkan untuk berobat ke Zurich, Swiss, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
Metro Files / Sabtu, 6 Februari 2010 23:06 WIB
Sumbr : metrotvnews.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !