Sebaris pesan sedih dikirim seorang pekerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi kepada keluarganya. Pesan itu berbunyi: “Kami sedang menjalankan misi bunuh diri. Kami terima nasib ini seperti menerima vonis mati.”
Petugas berani mati mengenakan pakaian pelindung antiradiasi bersiap
melakukan perbaikan PLTN Fukushima. Foto: dailymail
Pesan itu merupakan satu dari sekian rekaman kondisi terakhir para relawan Jepang yang kini tengah berjuang menyelamatkan sebagian negeri Matahari Terbit itu dari ancaman radiasi nuklir. Mereka bekerja siang malam untuk mendinginkan reaktor nuklir yang tersisa agar bencana nuklir yang dikhawatirkan tak terjadi. Pesan itu bagai mengingatkan kembali warga dunia pada ratusan pilot kamikaze Jepang yang rela mati dengan menabrakkan pesawat tempur mereka ke kapal-kapal perang Sekutu pada Perang Dunia II.
Gempa dan tsunami yang melanda Jepang pekan lalu, memicu bencana baru. Reaktor nuklir di Fukushima meledak dan mengirimkan debu radiasi ke wilayah sekitarnya. Ini ancaman nyata bagi seluruh negeri. Di tengah ketakutan yang mencekam itu, segelintir relawan yang tergabung dalam Fukushima 50, berjuang keras membatasi sebaran bencana itu. Namun, upaya penyelamatan itu bisa berarti bunuh diri, karena mereka bekerja di tengah reaktor yang labil itu.
Tingkat radiasi di pusat nuklir itu memang sudah melewati batas toleransi dan bisa membunuh para pekerja atau menyebabkan sakit dalam beberapa waktu ke depan. Baju khusus mereka pakai di Fukushima Daiichi tidak berfungsi maksimal mencegah kontaminasi. Meski disebut Fukhusima 50, sebenarnya kelompok ini beranggota 200 orang. Mereka bekerja dalam empat shift untuk mendinginkan reaktor itu. Mereka memilih tinggal, setelah 700 rekan mereka memilih pergi saat tingkat radiasi bertambah tinggi.
Identitas mereka tidak diungkapkan secara detail, namun diyakini, Fukhusima 50 terdiri dari para teknisi garis depan dan petugas pemadam yang tahu betul kondisi PLTN. Diyakini juga, mereka berusia lanjut dan punya keturunan. Karyawan muda tidak dilibatkan karena radiasi bisa membuat mereka mandul.
Harian The New York Times mengungkapkan para pekerja itu merupakan kelompok terakhir yang dipertahankan di PLTN itu. Di tengah gelap, mereka hanya bermodal senter untuk bergerak. Mereka harus memantau perkembangan terkini, seperti ledakan hidrogen yang telah terjadi berkali-kali sambil mencari cara agar perangkat inti PLTN tidak ikut hancur. Sebab, jika itu terjadi, akibatnya fatal. Zat radioaktif bisa menyebar dalam skala besar.
Maka, dalam dua hari terakhir, mereka berjuang memompa ratusan galon air laut setiap menit ke dalam reaktor yang rusak untuk mencegah lumernya komponen reaktor. Satu anggota Fukushima 50 mengaku menerima takdir itu. “Seperti menerima hukuman mati,” ujarnya. Pekerja lainnya malah sudah berpamitan pada istrinya. ”Lanjutkan kehidupanmu dengan baik. Saya tidak bisa di rumah sementara waktu,” katanya.
Pesan-pesan yang mengharukan ini ditayangkan ke publik melalui televisi nasional Jepang. Beberapa anggota keluarga mereka ikut diwawancarai atas “takdir” yang harus dijalani para relawan ini. “Ayah saya masih bekerja di PLTN. Ia mengaku menerima takdirnya, seperti hukuman mati,” ujar salah satu keluarga relawan. Seorang perempuan bahkan menuturkan, suaminya memilih berada di PLTN Fukushima karena sadar tubuhnya telah terkena radiasi tingkat tinggi.
Keluarga relawan lainnya, mengatakan, ayahnya yang berusia 59 tahun merelakan dirinya berada di Fukushima Daiichi. “Saya dengar ia menjadi sukarelawan, padahal tinggal setengah tahun lagi ia pensiun. Saya terus menangis. Di rumah, sepertinya ia bukan sosok yang mampu mengatasi tugas besar itu. Namun hari ini, saya benar-benar bangga padanya. Saya terus berdoa agar ia kembali dengan selamat,” tuturnya.
Seorang gadis lain mengatakan,” Saya tidak pernah melihat ibu saya menangis begitu hebat.” Lewat Twitter, gadis itu mengungkapkan perasaannya, “Orang-orang di PLTN Fukushima berjuang dan mengorbankan dirinya untuk melindungi Anda semua. Ayah, kumohon kembalilah dengan selamat.” Di antara Fukushima 50, lima orang diketahui telah tewas, dua hilang, dan 21 lainnya luka. Michiko Otsuki, mengaku sedang bekerja di reaktor Fukushma 2, ketika tsunami menerjang. Perempuan ini menuliskan kisahnya di internet yang kemudian diterjemahkan The Straits Times.
“Ketika tanda bahaya tsunami berbunyi pukul tiga, kami tidak tahu ke mana kami akan pergi. Kami segera membenahi reaktor yang tepat di pinggir laut ini dan sudah rusak karena tsunami. Dengan putus asa kami coba perbaiki. Meski lelah dan lapar, kami paksa diri bekerja. Banyak dari kami yang tidak berkomunikasi dengan keluarganya, namun justru harus menghadapi situasi ini dan bekerja keras,” tuturnya.
Ahli fisika, Dr Michio Kaku, mengatakan pada ABC, situasi memburuk beberapa hari terakhir. “Kami berbicara tentang pekerja yang berada di reaktor, yang kemungkinan menjadi misi bunuh diri. dan kami mungkin harus ‘meninggalkan kapal’,” ujarnya.
Michael Friedlander, yang bekerja di PLTN di AS menambahkan, para pekerja ini kemungkinan makan ransum seperti tentara dan minum air dingin untuk bertahan. “Kondisinya sangat dingin, gelap dan Anda akan berupaya agar tidak terkontaminasi selama waktu makan,” terang Friedlander.
Sumber : surya.co.id
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !