Sambungan dari Kontroversi Kematian Jim Morisson, Dari Nol Kembali Ke Nol : Bagian I
Terakhir saya bertemu Jim Morrison adalah pada musim gugur 1971 , di studio rekaman-yang terletak di 8512 Santa Monica Boulevard, pojokan La Canega dan Santa Monica. Tempat ini tadinya merupakan kantor sekaligus tempat workshop untuk The Doors, tapi telah kami ubah menjadi studio rekaman untuk penggarapan album L A Woman. Kami sudah mengenal akustik ruang ini . Kami merasa nyaman berada di ruang ini. Ruang ini telah biasa digunakan sebagai tempat bercengkrama, minum-minum, berfilsafat dan mengisap ganja. Dan saat ini kami akan menjadi produser untuk rekaman kami.
Paul Rotchild telah mengundurkan diri dari proyek ini. Ia mempunyai cara yang unik untuk membuat kami termotivasi. Ia adalah seorang spekulan sejati. “Saya jenuh,” katanya. “Jika hal ini adalah hal terbaik yang bisa kalian lakukan. Saya akan pergi. Saya yakin kalian bisa mengerjakan hal ini.” Ia kemudian melangkah ke luar di saat kami sedang melakukan latihan. Yeah ! Mengerjakan sendiri ? Well… mengapa tidak ?! Kami bisa menggerjakan ini. Kami memiliki kemampuan. Bruce Botnick sebagai co produser. Tentu saja seperti halnya kami Brucepun masih nol pengalaman. Tapi ia sudah kenal baik sound kami. Ia paham apa yang kami maui. Ia telah menjadi sound engineer the Door sejak album the Door yang pertama. Ia punya peran besar dalam mewujudkan sound the Door dan sekarang menjadi co produser.
Kami membuat suatu lompatan besar – John, Robby, Jim, Ray dan Bruce Bitnick. Kami akan berdiri di atas kami sendiri. A crytically and aesthatecally sucessfull undertaking. Energinya berpihak pada kami.
Bruce mendorong perangkat rekaman delapan track menyebrangi La Nega Boulevard dari perusahaan rekaman Elektra yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor The Doors. Selain itu ada juga kabel-kabel, mike, baffles, beberapa amplifier…..dan sebuah amplifier tabung yang besar, sudah berumur dari Sunset Studio, tempat dimana kami mengerjakan dua album awal The Doors, The Doors dan Strange Day. Pada masa itu sudah tidak ada orang yang mau menggunakan ampli tabung besar seperti itu untuk rekaman. Sudah dianggap kuno. Tapi bagi kami ampli tersebut sangat berguna, karena soundnya yang warm, full dan rich. Tampilannya memang mengingatkan kita pada ampli pada era bigbandnya Gene Krupa. Dengan alat pemutar volume sebesar jengkol, tidak ada alat pengatur volume dengan sistim geser. Kita bisa menggegam alat putar volume itu dengan tangan. Rasanya mantap. Seperinya kita menjadi kesinambungan seniman-seniman musik periode lalu, mengembangkan seni rekaman tapi tetap mempertahankan cita rasa tradisi. Dan semuanya hanya terdiri dari dua warna silver dan hitam dihiasi dengan indikator yang menuju bagian merah, memandu kami mendapatkan sound yang optimal. Dan ampli ini tidak pernah membuat kami kecewa.
Kami menempatkan semua instrumen musik di lantai bawah, menempatkan perangkat mixer sedikit tersembunyi, menempatkan mike-mike di depan ampli, menempatkan mike Jim Morrison di tempat agak terpisah - the downstairs bathroom - menempatkan perangkat rekaman delapan track di lantai atas, ruang kantor kami, dengan perangkat kabel yang dijulurkan dari lantai bawah melalui anak tangga untuk kemudian dihubungkan dengan perangkat rekaman di atas. Wuaa…studio rekaman sudah ada di kantor kami.
Dan kami menggoyang ruang kecil ini dengan musik kami. Memproses lagu-lagu kami. Did a Jacob on the Angel of creativity, and caught the muse. Semuanya berjalan lancar dan bentuk akhirnya terlihat makin nyata. Jim telah menyelesaikan hampir semua tugasnya pada bagian vokal. Yang belum adalah membisikan vokalnya pada lagu Riders On The Storm - usai bait terakhir.
Kemudian Jim menyelesaikan tugasnya, bisikan vokalnya yang getir di belakang bait tersebut.
Dan terasa menyeramkan. Seharusnya saya sadar bahwa ini adalah suatu pertanda. Kami telah menyelesaikan rekaman kami dan ia datang ke ruang kendali rekaman di latai atas. Semua berpendapat vocal Jim luar biasa. Jim juga merasa puas dengan apa yang telah ia lakukan.
“Saya suka effek dalam lagu tersebut,” kata Jim. “Ide yang bagus, Ray.”
Tiba-tiba Robby berkata :”Kalian tahu, lagu tersebut seperti membawa saya ke tengah padang pasir, saya melihat petir yang besar…di kejauhan. Bagaimana kalau kita tambahkan efek suara petir dan bunyi hujan ?! Yang bisa membawa pendengar ke tempat yang saya rasakan tadi.”
Botnick berkata : “Saya memiliki banyak koleksi sound efect. Kita lihat apa yang bisa kita temukan,”
Jim hanya berdiri sambil menggumamkan melody lagu tersebut untuk dirinya…dan tersenyum. The Doors dalam kebersamaan, di studio, membuat musik. Semua terasa oke. Semua terasa lancar. Kami tahu itu dan kami sama-sama tersenyum pada diri kami sendiri. Seperti halnya Jim yang juga tersenyum pada dirinya.
Dan tiba-tiba Jim melempar bom !
“Saya akan pergi ke Paris,” katanya.
Hening. Roda jiwa mulai berputar. Keraguan, firasat, kengerian menyelimuti ruang di mana kami berada. A dark green thing attached itself to the base of my spine. Bruce dan Robby untuk sesaat berdiri terpaku. John terbatuk batuk gelisah, tak tahan dengan suasana yang mencekam.
“Kita sudah betul-betul hampir menyelesaikan pekerjaan kita,” Jim melanjutkan kata-katanya. “Proses mixing sebagian besar telah kita selesaikan. Semua hasilnya kelihatan memuaskan. Mengapa tidak diselesaikan saja sisanya oleh kalian semua. Saya akan berangkat ke Paris dalam dua hari ini. Pam sudah berada di sana. Ia punya apartemen dan semua sudah dipersiapkan. Saya akan tinggal bersamanya di sana.”
Dan itulah. Suatu pernyataan sederhana dan polos telah diungkapkan. Akhir kebersamaan kami sedang diputuskan. Tapi saat itu kami belum tahu. Tak seorangpun yang tahu. Tidak pada saat itu. Tidak ditengah-tengah kami sedang melakukan proses kreatif. Di tengah-tengah rasa persaudaraan. Di tengah-tengah kesenian. Yang saya tahu saya merasa tidak enak. Perasaan tidak enak itu menjalar keperut saya. Ini tidak beres.
Jim biasanya selalu terlibat dalam proses mixing akhir. Itulah saat dimana segala kreatifitas dan kerja keras kami menemukan bentuk akhinya. Saat kita menyempurnakan segala sesuatunya. Seberapa besar volumenya, seting Eqnya, penempatan instrumen dalam sound yang kita inginkan, the sugnal processing device, editing, semua harus oke untuk kemudian kita padukan dalam pita dua track. Menghasilkan rekaman akhir. Rekaman yang kemudian akan didengar orang dirumah. Bayi kami.
Ini adalah kelahiran bayi kami. Setelah pergulatan berbulan-bulan. Dari mulai menemukan inspirasi awal, saat menggodoknya dalam latihan, to seducing the muse of each piece, menanamkan esensi, sampai akhir siap dipindahkan kepita rekaman, malam demi malam pengerjaan proses rekaman, tryng to get the muse to come back and make love to us one more time while the tape machine was running (oh, she is fickle and demanding of surrender and can never be fooled or tricked into appearing), merekam vocal, sampi ke overdub piano dan permainan slide guitar.
Dan Jim akan pergi ke Perancis sebelum ia mendengar hasil akhir, album yang telah selesai—sebelum ia mengetahui bagaimana bentuk akhir dari suatu proses yang telah kita kerjakan bersama-sama, bermingu-minggu, berbulan-bulan, jadinya seperti apa ?
Seharusnya saya tahu.
Ada yang tidak beres. Saya tidak tahu apa, namun ada yang tidak beres. Tapi saya mencoba tegar. Mungkin karena, dalam hati saya yang terdalam, saya berpikir perjalanan yang akan dilakukan Jim adalah suatu ide baik.
“Paris, huh ?” kata saya. “Menarik sekali. Itu suatu tempat yang bagus untuk refreshing beberapa waktu.”
“Ya, saya pikir juga begitu.”
“Berapa lama, uhh….berama lama rencananya kamu akan berada di sana?”
“Aku tidak tahu Ray,” kata Jim berkata, sementara matanya seperti menerawang jauh. Jauh sekali. Tidak berada di sana, tapi melihat semuanya. Terutama tragedi, rentannya kehidupan.
“Saya tak punya rencana sama sekali,” kata Jim lagi, “Saya hanya butuh istirahat. Beberapa waktu untuk diri saya. Beberapa bulan, enam bulan. Mungkin satu tahun. Siapa tahu ? Saya sendiri belum tahu.
“Hal ini bisa memberimu kesempatan untuk menggarap catatan-catatan yang dibuat di Miami.,” Saya memberi dorongan. “Saya ingin membaca kalau sudah jadi buku.” Buku itu tadinya akan berjudul Observation On America, While On Trial for Obscenity.
Ia tersenyum. “Saya akan memarahi mereka. Kali ini adalah giliran saya.”
“A new de Tocqueville,” kata saya. “Kita butuh satu untuk abad 20 ini.”
Ia hanya tersenyum that sheepish little-boygrin of his dan menjulurkan tangannya kepada saya. “Ah Ray.” Katanya.
“Hey, kamu pasti bisa. Siapa lagi kalau bukan kamu ?
Terakhir saya bertemu Jim Morrison adalah pada musim gugur 1971 , di studio rekaman-yang terletak di 8512 Santa Monica Boulevard, pojokan La Canega dan Santa Monica. Tempat ini tadinya merupakan kantor sekaligus tempat workshop untuk The Doors, tapi telah kami ubah menjadi studio rekaman untuk penggarapan album L A Woman. Kami sudah mengenal akustik ruang ini . Kami merasa nyaman berada di ruang ini. Ruang ini telah biasa digunakan sebagai tempat bercengkrama, minum-minum, berfilsafat dan mengisap ganja. Dan saat ini kami akan menjadi produser untuk rekaman kami.
Paul Rotchild telah mengundurkan diri dari proyek ini. Ia mempunyai cara yang unik untuk membuat kami termotivasi. Ia adalah seorang spekulan sejati. “Saya jenuh,” katanya. “Jika hal ini adalah hal terbaik yang bisa kalian lakukan. Saya akan pergi. Saya yakin kalian bisa mengerjakan hal ini.” Ia kemudian melangkah ke luar di saat kami sedang melakukan latihan. Yeah ! Mengerjakan sendiri ? Well… mengapa tidak ?! Kami bisa menggerjakan ini. Kami memiliki kemampuan. Bruce Botnick sebagai co produser. Tentu saja seperti halnya kami Brucepun masih nol pengalaman. Tapi ia sudah kenal baik sound kami. Ia paham apa yang kami maui. Ia telah menjadi sound engineer the Door sejak album the Door yang pertama. Ia punya peran besar dalam mewujudkan sound the Door dan sekarang menjadi co produser.
Kami membuat suatu lompatan besar – John, Robby, Jim, Ray dan Bruce Bitnick. Kami akan berdiri di atas kami sendiri. A crytically and aesthatecally sucessfull undertaking. Energinya berpihak pada kami.
Bruce mendorong perangkat rekaman delapan track menyebrangi La Nega Boulevard dari perusahaan rekaman Elektra yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor The Doors. Selain itu ada juga kabel-kabel, mike, baffles, beberapa amplifier…..dan sebuah amplifier tabung yang besar, sudah berumur dari Sunset Studio, tempat dimana kami mengerjakan dua album awal The Doors, The Doors dan Strange Day. Pada masa itu sudah tidak ada orang yang mau menggunakan ampli tabung besar seperti itu untuk rekaman. Sudah dianggap kuno. Tapi bagi kami ampli tersebut sangat berguna, karena soundnya yang warm, full dan rich. Tampilannya memang mengingatkan kita pada ampli pada era bigbandnya Gene Krupa. Dengan alat pemutar volume sebesar jengkol, tidak ada alat pengatur volume dengan sistim geser. Kita bisa menggegam alat putar volume itu dengan tangan. Rasanya mantap. Seperinya kita menjadi kesinambungan seniman-seniman musik periode lalu, mengembangkan seni rekaman tapi tetap mempertahankan cita rasa tradisi. Dan semuanya hanya terdiri dari dua warna silver dan hitam dihiasi dengan indikator yang menuju bagian merah, memandu kami mendapatkan sound yang optimal. Dan ampli ini tidak pernah membuat kami kecewa.
Kami menempatkan semua instrumen musik di lantai bawah, menempatkan perangkat mixer sedikit tersembunyi, menempatkan mike-mike di depan ampli, menempatkan mike Jim Morrison di tempat agak terpisah - the downstairs bathroom - menempatkan perangkat rekaman delapan track di lantai atas, ruang kantor kami, dengan perangkat kabel yang dijulurkan dari lantai bawah melalui anak tangga untuk kemudian dihubungkan dengan perangkat rekaman di atas. Wuaa…studio rekaman sudah ada di kantor kami.
Are you a lucky little lady in the City Of Light.
Or Jus Another Angel
City Of Night
City Of Night
City Of Night
City Of Night!
Dan kami menggoyang ruang kecil ini dengan musik kami. Memproses lagu-lagu kami. Did a Jacob on the Angel of creativity, and caught the muse. Semuanya berjalan lancar dan bentuk akhirnya terlihat makin nyata. Jim telah menyelesaikan hampir semua tugasnya pada bagian vokal. Yang belum adalah membisikan vokalnya pada lagu Riders On The Storm - usai bait terakhir.
Riders On The Storm
Riders On The Storm
Into The House We’re Born
Into This World We’re Thrown
Like A Dog Without Bone
An Actor Out on loan
Riders On The Storm
Kemudian Jim menyelesaikan tugasnya, bisikan vokalnya yang getir di belakang bait tersebut.
Riders On The Storm
Riders On The Storm
Dan terasa menyeramkan. Seharusnya saya sadar bahwa ini adalah suatu pertanda. Kami telah menyelesaikan rekaman kami dan ia datang ke ruang kendali rekaman di latai atas. Semua berpendapat vocal Jim luar biasa. Jim juga merasa puas dengan apa yang telah ia lakukan.
“Saya suka effek dalam lagu tersebut,” kata Jim. “Ide yang bagus, Ray.”
Tiba-tiba Robby berkata :”Kalian tahu, lagu tersebut seperti membawa saya ke tengah padang pasir, saya melihat petir yang besar…di kejauhan. Bagaimana kalau kita tambahkan efek suara petir dan bunyi hujan ?! Yang bisa membawa pendengar ke tempat yang saya rasakan tadi.”
Botnick berkata : “Saya memiliki banyak koleksi sound efect. Kita lihat apa yang bisa kita temukan,”
Jim hanya berdiri sambil menggumamkan melody lagu tersebut untuk dirinya…dan tersenyum. The Doors dalam kebersamaan, di studio, membuat musik. Semua terasa oke. Semua terasa lancar. Kami tahu itu dan kami sama-sama tersenyum pada diri kami sendiri. Seperti halnya Jim yang juga tersenyum pada dirinya.
Dan tiba-tiba Jim melempar bom !
“Saya akan pergi ke Paris,” katanya.
Hening. Roda jiwa mulai berputar. Keraguan, firasat, kengerian menyelimuti ruang di mana kami berada. A dark green thing attached itself to the base of my spine. Bruce dan Robby untuk sesaat berdiri terpaku. John terbatuk batuk gelisah, tak tahan dengan suasana yang mencekam.
“Kita sudah betul-betul hampir menyelesaikan pekerjaan kita,” Jim melanjutkan kata-katanya. “Proses mixing sebagian besar telah kita selesaikan. Semua hasilnya kelihatan memuaskan. Mengapa tidak diselesaikan saja sisanya oleh kalian semua. Saya akan berangkat ke Paris dalam dua hari ini. Pam sudah berada di sana. Ia punya apartemen dan semua sudah dipersiapkan. Saya akan tinggal bersamanya di sana.”
Dan itulah. Suatu pernyataan sederhana dan polos telah diungkapkan. Akhir kebersamaan kami sedang diputuskan. Tapi saat itu kami belum tahu. Tak seorangpun yang tahu. Tidak pada saat itu. Tidak ditengah-tengah kami sedang melakukan proses kreatif. Di tengah-tengah rasa persaudaraan. Di tengah-tengah kesenian. Yang saya tahu saya merasa tidak enak. Perasaan tidak enak itu menjalar keperut saya. Ini tidak beres.
Something’s wrong, something’s not quite right
Jim biasanya selalu terlibat dalam proses mixing akhir. Itulah saat dimana segala kreatifitas dan kerja keras kami menemukan bentuk akhinya. Saat kita menyempurnakan segala sesuatunya. Seberapa besar volumenya, seting Eqnya, penempatan instrumen dalam sound yang kita inginkan, the sugnal processing device, editing, semua harus oke untuk kemudian kita padukan dalam pita dua track. Menghasilkan rekaman akhir. Rekaman yang kemudian akan didengar orang dirumah. Bayi kami.
Ini adalah kelahiran bayi kami. Setelah pergulatan berbulan-bulan. Dari mulai menemukan inspirasi awal, saat menggodoknya dalam latihan, to seducing the muse of each piece, menanamkan esensi, sampai akhir siap dipindahkan kepita rekaman, malam demi malam pengerjaan proses rekaman, tryng to get the muse to come back and make love to us one more time while the tape machine was running (oh, she is fickle and demanding of surrender and can never be fooled or tricked into appearing), merekam vocal, sampi ke overdub piano dan permainan slide guitar.
Dan Jim akan pergi ke Perancis sebelum ia mendengar hasil akhir, album yang telah selesai—sebelum ia mengetahui bagaimana bentuk akhir dari suatu proses yang telah kita kerjakan bersama-sama, bermingu-minggu, berbulan-bulan, jadinya seperti apa ?
Seharusnya saya tahu.
Ada yang tidak beres. Saya tidak tahu apa, namun ada yang tidak beres. Tapi saya mencoba tegar. Mungkin karena, dalam hati saya yang terdalam, saya berpikir perjalanan yang akan dilakukan Jim adalah suatu ide baik.
“Paris, huh ?” kata saya. “Menarik sekali. Itu suatu tempat yang bagus untuk refreshing beberapa waktu.”
“Ya, saya pikir juga begitu.”
“Berapa lama, uhh….berama lama rencananya kamu akan berada di sana?”
“Aku tidak tahu Ray,” kata Jim berkata, sementara matanya seperti menerawang jauh. Jauh sekali. Tidak berada di sana, tapi melihat semuanya. Terutama tragedi, rentannya kehidupan.
All My Life’s Torn Curtain
All My mind come trumbling down
“Saya tak punya rencana sama sekali,” kata Jim lagi, “Saya hanya butuh istirahat. Beberapa waktu untuk diri saya. Beberapa bulan, enam bulan. Mungkin satu tahun. Siapa tahu ? Saya sendiri belum tahu.
“Hal ini bisa memberimu kesempatan untuk menggarap catatan-catatan yang dibuat di Miami.,” Saya memberi dorongan. “Saya ingin membaca kalau sudah jadi buku.” Buku itu tadinya akan berjudul Observation On America, While On Trial for Obscenity.
Ia tersenyum. “Saya akan memarahi mereka. Kali ini adalah giliran saya.”
“A new de Tocqueville,” kata saya. “Kita butuh satu untuk abad 20 ini.”
Ia hanya tersenyum that sheepish little-boygrin of his dan menjulurkan tangannya kepada saya. “Ah Ray.” Katanya.
“Hey, kamu pasti bisa. Siapa lagi kalau bukan kamu ?
Bersambung Bagian III
Sumber : http://onestopblues.com/kontroversi-kematian-jim-morisson-dari-nol-kembali-ke-nol-bagian-2-pertemuan-terakhir/
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !