Kepergian Jim Morrison ke Paris menimbulkan perasaan aneh. Setelah kami meluncurkan album L.A. WOMAN album kami yang keenam dalam rentang waktu empat tahun, dan ditambah album Absolutely Live maka jumlah album yang kami hasilkan menjadi tujuh. Tujuh, adalah jumlah anak tangga untuk mencapai surga. Tujuh juga merupakan jumlah cakra—pusat energi yoga mulai dari daerah\ tulang ekor sampai ke ubun-ubun. Tujuh juga merupakan jumlah album yang harus kami buat untuk Elektra Record, sesuai dengan kontrak yang telah kami sepakati. Setelah album L.A. Woman diluncurkan, kami tak mempunyai ikatan apa-apa lagi dengan Elektra. Kami bebas dan bersih. Kami dapat mengundurkan diri, membuat kontrak dengan Atlantic Record (Ahmet Artegun berusaha mengajak kami) Atau tidak melakukan kontrak dengan siapapun, membubarkan the Doors, tinggal bersama, membuat film, menulis buku, melukis, menari atau apa saja yang kami mau. Bahkan tidak melakukan apa-apa. Mengambil cuti panjang, berpikir tentang manusia, tentang Tuhan dan mengenai eksistensi.
Sejujurnya saya mengharap Jim menggunakan waktu liburannya untuk menjauhkan diri dari teman-temannya yang hobi minum-minum, juga dari teman-temannya yang tukang kluyuran yang selalu mendekati Jim dan selalu membawa Jim ke tempat-tempat minum. Juga dari para penjilat, dari para parasit sebagaimana saya, Robby dan John memberi istilah pada mereka: dari “teman-temannya,” suatu istilah yang akan populer beberapa tahun kemudian. Dan malam-malam tersebut selalu menjadi tanggungan Jim. Jim selalu mentraktir. Selalu memanjakan orang-orang disekitarnya, sementara orang-orang tersebut hanya merongrong, membuat Jim tak mampu berkarya sebagai seorang penyair.
Bersama mereka waktu dan energi Jim habis di Bar. Minum-minum yang berlebihan membuatnya lupa diri. Apalagi teman-temannya itu akan selalu tertawa berlebihan ketika Jim bercanda. Jim makin lupa diri. Elvis punya teman-teman seperti ini. Mereka biasa disebut mafia Memphis. Jim juga punya. Kami menyebutnya mafia Santa Monica.
Para pemain The Doors tentu tidak anti minum, tapi Jim minum berlebihan di antara teman-teman penjilatnya. Jika pergi ke Perancis mudah-mudahan ia bisa menjauh dari teman-temannya tersebut....
Di tengah orang-orang seperti ini, Jim tak akan bisa melahirkan suatu karya. Tidak mampu berkreasi. Mustinya ia bisa menghasilkan bait-bait baru yang indah, bukan menggunakan waktunya untuk ngobrol-ngobrol tanpa isi dan pulang ke tempat Pam menjelang dini hari. Berapa banyak ide bagusnya yang terbuang karena ia lebih suka tenggelam dengan kebiasaan minumnya. Berapa banyak puisinya terbuang karena kebiasaan buruknya ini, ditengah orang-orang yang membuai dia yang hanya berpikiran kapan mereka mendapat jatah minum dari Jim.
Mereka adalah hal yang menyakitkan bagi Pam Curson. Kekasih sekaligus belahan hati Jim. Pam selalu marah karena Jim selalu keluyuran dan mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Bersama teman-temannya tersebut Jim sering pergi berhari-hari untuk kemudian balik lagi kepada Pam seolah tak terjadi apa-apa. Menurut pandangan saya hubungan mereka awet tapi didalamnya menyakitkan. However volatile to the point of self immolation would be more to the truth.
….. and our love become funeral pyre
Maka agar semuanya enak bagi Pam, atas saran Pam, Jim akan berlibur di Paris bersama Pam.
Hey, itu nampaknya sebuah ide bagus, paling tidak pada situasi saat itu. Paris adalah kota yang penuh cahaya— and he could certainly use an infusion of luminosity into that shadow world of his—kota bagi para seniman. Ia bisa menjadi seorang bohemian masa depan yang ideal, seorang Amerika di Paris. Banyak seniman-seniman besar yang pernah berada di sana. Mengapa Jim tidak ? Earnest Hemingway, F Scott Fitzgerald, Henry Miller, Jim Morrison. Wow, saya sangat suka rangkaian nama nama itu. Suatu kumpulan nama yang sangat bagus.
Dan inspirasi bisa muncul dari kota seperti Paris. Saya ingin Jim pergi ke Paris dan mulai menulis lagi. Lupakan status dirinya sebagai rock star. Inilah saatnya ia kembali menjadi seniman. Seperti dimasa awal. Saat musim panas 1965. Saat kami masih muda dan dipenuhi rasa idealisme, penuh energi dan siap mengubah dunia. Saya ingin Jim kembali seperti itu. Peka, peduli, jenaka-orang yang sama-sama duduk di pantai Venice bersama saya enam tahun yang lalu. Orang yang mendirikan The Doors bersama saya. Orang yang merupakan penyair terbaik yang saya kenal (penyair legendaris Michael McClure pernah menyebut Jim sebagai penyair terbaik pada jamannya). Jim adalah seorang seniman, dan Jim adalah teman saya
“Oke. Sampai bertemu lagi,” kata Jim, dengan aksen daerah Selatan mewarnai katanya—suatu aksen yang berasal dari masa kanak-kanaknya di Florida. Suatu hal yang bisa muncul saat dia merasa tertekan or silly joy. Atau kadang-kadang, namun belakangan lebih sering, di saat ia kerasukan akibat terlalu banyak minum Wild Turkey, dan ia berubah menjadi seorang manusia yang tidak saya kenal. Dan Ia pergi begitu saja. Meninggalkan sesi rekaman. John, Robby dan saya hanya bisa saling pandang, tertegun. Yang bisa kami lakukan akhirnya hanyalah mengangkat bahu.
“Saya pikir itu ide bagus,” kata Robby.
“Kelihatannya begitu,” kata saya sepakat. “Paris dan seniman kelihatannya cocok.”
“Mungkin di sana ia bisa merenung untuk menghasilkan karya-karya yang bagus,” kata Robby berharap.
“Namun bagaimana kalau ia malah tak bisa berhenti minum-minum? Ia malah tak bisa menghasilkan karya yang bagus lagi.” John nampak khawatir.
“Jangan khawatir John,” kata saya berusaha untuk menghapus kekhawatiran John.” Di Paris Jim akan lebih mudah menemukan syair. Jim akan berkarya di sana.”
“Yeah,” kata John sambil menghela nafas. “Lalu bagaimana dengan Jimbo?’
Kami terdiam sejenak. Hening. Rasa ketakutan tiba-tiba terasa menyergap kami. John memecah keheningan, sekali lagi dengan melepaskan batuk-batuk dari rasa gelisahnya. Kami kemudian berusaha untuk bekerja kembali. Tapi tidak mungkin. Menyelesaikan L.A. Woman tanpa Jim harus dilakukan pada hari lain. Pada saat itu kami sungguh tidak tahu bahwa itu adalah hari terakhir kami bertemu Jim.
Dua bulan telah berlalu, kami tak mendapat kabar apapun dari Jim. Sementara L.A Woman telah dirilis dan orang mengatakan bahwa The Doors telah kembali. Para kritikus menyukai. “The Doors Is Back!” “Gabungan yang unik antara power dan presisi !” “Raw& Real !” “Lirik yang dibuat oleh Jim Morrison sangat menyentuh.” Sementara single pertama dari album ini, sebuah lagu indah yang dibuat untuk mengenang suatu pertengkaran antara Robby Krieger dan kekasihnya “Love Her Madly” menjadi hit. Sering diputar di radio. Sedangkan lagu-lagu intelektual dari kami yang mempunyai durasi panjang ( kami biasa menyebutnya sebagai “epic”) diwakili oleh lagu “Riders On The Storm,” dan “L.A. Woman,” sedangkan “Been Down So Long” dan “Maggie M’ Gill” mewakili karya kami yang berakar blues. Semua terasa memuaskan, kecuali satu hal……tidak hadirnya Jim Morrison.
Kami mulai rindu untuk main musik lagi. Oleh karenanya kami melakukan latihan bersama, mencoba beberapa lagu baru lagi. Membuat musik secara bersama. Robby memiliki beberapa lagu baru. Sedangkan John dan saya mulai mencoba membuat lagu lagi pada saat kami melakukan latihan itu. Latihan berjalan dengan baik, kami banyak dimintai waktu untuk melakukan wawancara mengenai album L.A. Woman. Pemilik perusahaan rekaman Elektra tersenyum lebar atas kesuksesan album ini. Mereka kemudian menawarkan tur pada The Doors, mereka tidak tahu bahwa Jim berada di Paris. Kami sebetulnya tidak merahasiakan kepergian Jim ke Paris, tapi kami juga merasa tidak perlu mengabarkan hal ini pada orang, kecuali orang dekatnya. Hingga semuanya berkembang apa adanya namun terkendali
John akhirnya berkata dengan tidak sabar, “ Saya akan menghubungi dia” “Buat apa?” Timpal saya. “Biar saja dia di sana untuk sementara waktu. Ia tidak mau diganggu siapapun. Ia akan menghubungi kita jika ia sudah merasa perlu.” John mundar-mandir di ruang latihan, tak mampu mengendalikan rasa gelisahnya. “Saya harus pergi sekarang,” katanya. Ajaib, keesokan harinya Jim menelpon John.
Dan sehari setelah itu John memberi tahu saya dan Robby. Semua baik-baik saja. Jim merasa betah di sana. Merasa nyaman. Jim juga telah mencukur jambang dan janggutnya. Ia merasa senang atas tanggapan para kritikus musik tentang album L.A. Woman, dan yang paling melegakan ia juga sudah ingin main musik lagi.
“Begitu saya tiba kembali, kita harus segera naik panggung lagi,” katanya. “Saya ingin memainkan lagu-lagu yang ada pada album baru kita secara live. Kita belum pernah memiliki kesempatan melakukan itu.”
“Persis,” kata John dengan sangat antusias. “Dan kamu tahu tidak Jim, kita bisa membawa pemain bas pada pertunjukan kita. Mungkin juga seorang pemain rhythm guitar seperti di album. Ray, Robby dan Ray sudah membicarakan hal itu.”
“Kita bawa saja pemain bas yang ada pada album itu.” Kata Jim yang rupanya menangkap antusiasme John.”Siapa namanya?”
“Jerry….Jerry Scheff,” kata John lewat sambungan jarak jauh.” Kita juga bisa bawa yang lainnya.”
“Well, asyik John. Kalau begitu kita bikn tur kecil saja. Bagaimana pendapatmu ?”
“Kapan ?”
“Ya jika saya sudah kembali.”
“Kapan itu?”
“Saya belum tahu …saya masih betah di sini.” Jim menjawab, “Saya akan berada di sini sementara waktu.”
“Well, baiklah,” kata John “Saya akan katakan pada teman-teman.”
“Good, sampaikan salam saya pada mereka.” jawab Jim.
KLIK.
Itulah kabar terakhir dari Jim yang kami terima. Pada saat itu adalah awal Juni. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 3 Juli Jim meninggalkan kita semua, oleh sebab yang disebut hal-hal yang misterius.
Bersambung Bagian IV
Sumber : http://onestopblues.com/kontroversi-kematian-jim-morrison-dari-nol-kembali-ke-nol-3-telepon-dari-paris/
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !