Saat sedang mampir baca status di facebook, saya dapati mantan dosen saya di Filsafat UGM memposting link sebuah berita bahwa fisikawan kondang Stephen Hawking meluncurkan buku terbarunya yang berjudul “The Grand Design”. Link yang dilempar langsung menuai banyak tanggapan atau komentar facebooker, ini karena dalam berita itu menonjolkan bahwa dalam buku terbarunya Hawking menyatakan Tuhan tidak menciptakan alam semesta.
Diskusi soal Hawking langsung ramai. Tidak heran memang jika ada hal berbau agama atau Tuhan pasti ramai. Apalagi jika dikatakan Tuhan itu tidak ada, atau tak menciptakan alam semesta. Jangankan statemen dari fisikawan kondang sekaliber Hawking, orang iseng saja jika bilang Tuhan tidak ada saja pasti langsung heboh dan menuai kecaman.
Ternyata kehebohan dengan topik buku baru Hawking ini tidak hanya terjadi di facebook saja. Di jejaring sosial lainnya yaitu twitter, hal itu bahkan menjadi trending topic peringkat pertama. Ini karena mayoritas pengguna twitter, berkicau soal fisikawan Inggris itu.
Tak jauh dengan yang terjadi di facebook, kehebohan soal Hawking berkisar soal Tuhan. Kecaman atau pujian bercampur muncul dalam berbagai bahasa, misalnya saja di hastag #Hawking. Ada yang bersukacita karena merasa iman ateisnya seolah dibenarkan, ada yang kecewa karena seolah iman ketuhanannya dilecehkan. Semua berbaur dalam pro dan kontra di jejaring sosial dunia maya.
Saya sendiri tak mau terlalu ikut larut dalamnya hiruk pikuk pro dan kontra itu. Saya juga tidak mau terlalu dalam mengompentari buku baru Hawking karena belum baca. Yang saya baca hanya berita berbagai media yang konon sumbernya dari ringkasan buku yang ditulis Hawking bersama fisikawan AS Leonard Mlodinow itu.
Bagi saya yang pernah sedikit belajar Hawking saat kuliah kosmologi dulu, melihat bahwa ada jika benar sekarang Hawking meniadakan Tuhan, maka ada sedikit perubahan pandangan. Sepanjang yang saya pahami dulu dalam “A Brief History of Time” dia bercita-cita menemukan teori pamungkas, teori segala sesuatu atau The Theory of Everything untuk “membaca pikiran Tuhan”. Namun sekarang dalam “The Grand Design” dia meniadakan Tuhan dan mengatakan bahwa alam semesta tercipta secara sepontan oleh Law of Physics.
Sebenarnya pandangan yang diungkapkan Hawking ini bukan hal baru, banyak orang sebelum dia yang mengungkapkan hal yang sama. Mereka ini disebut kaum Naturalis, yang berpandangan Tuhan tak dibutuhkan dalam penciptaan semesta, bahkan tak perlu ada. Lawannya adalah para ilmuwan yang percaya dengan peran Tuhan. Mereka ini dinamai kelompok kreasionis. Mbahnya kaum kreasionis adalah Aristoteles yang mengatakan jika semua ada penyebab maka dibutuhkan penyebab yang tidak disebabkan, atau penggerak yang tak digerakkan, unmoved mover, di situ tempat bagi Tuhan.
Jadi kehebohan soal buku baru dan pandangan Hawking ini seolah memantik diskusi lama antara Naturalisme dan Kreasionisme. Bagi pendukung kreasionis yang selama ini menggolongkan Hawking di dalam kelompok mereka, tentu mereka menilai Hawking murtad. Sebaliknya pendukung Naturalis melihat hal itu sebagai pertobatan Hawking.
Tapi ada pula yang berpandangan dari dulu Hawking itu naturalis dan tak percaya Tuhan, Jadi pendangan Hawking tak berubah. Namun dalam buku pertama dan dalam pertemuan Hawking dengan Paus Yohanes Paulus II, dengan teorinya tentang “singularitas”, dia terkesan mengaformasi teori penciptaan dan ada Tempat bagi Tuhan. Ada juga cerita bahwa saat bertemu Paus, Hawking sempat ditanya sebelum Big Bang ada apa kalau semua diawali oleh Big Bang, dan konon dia menjawab muter-muter.
Nah, diskusi soal Hawking di jejaring sosial yang kemudian berbau penyangkalan dan pembelaan agama ini juga seolah membuka diskusi lama. Diskusi abadi antara sains dan agama. Dikusi keduanya seringkali berlangsung keras. Agama seolah terancam oleh penemuan-penemuan sains. Di abad pertengahan bahkan ilmuwan yang pendangannya tak sejalan dengan iman tak segan dibakar hidup-hidup. Untung buku Hawking ini tak terbit saat itu, kalau terbit saat itu dia sudah dibakar kali ye hehe.
Sekarang dikusi ini juga tak kalah keras. ada yang kemudian membabibuta membela agama dan mengatakan Hawking bagian propaganda kafir, ada yang kemudian mengatakan kaum agama bodoh karena ternyata Tuhan tidak ada. Saya tak perlu merinci kicauan mereka silahkan baca sendiri di facebook atau twitter. Dari sekian komentar, ternyata yang paling reaksioner adalah kalangan pembela agama.
Saya jadi heran, mengapa Hawking seolah jadi mengancam. Bagi saya sains seharusnya dilihat sebagai hal yang tak mengancam iman. Memang dua ranah ini sekilas serasa berbeda, seolah keduanya tak bisa bertemu dan akur satu sama lain. Ada yang bilang jika kita mau beragama kita harus percaya dulu baru mempelajari, tapi kalau sains kita harus mempelajari dulu baru percaya.
Namun bagi saya sains dan agama adalah hal yang saling melengkapi. Banyak hal yang tak dijelaskan dengan detail oleh agama dijelaskan oleh sains, sebaliknya banyak hal yang tak terjawab oleh sains dijelaskan oleh agama. Bahkan ada berbagai ilmu yang terilhami oleh agama. Misalnya Al Quran telah banyak mengilhami ilmuwan muslin dalam penemuannya. Sebut saja dalam ilmu kedokteran, astronomi dan lain sebagainya.
Sebagai contoh kita bisa menafsir pandangan Hawking secara agama. Misalnya dengan agama Islam. Kita tahu Hawking memuja law of physics, bukankan itu dalam Islam dikenal sebagai sunatullah. Bedanya orang Islam meyakini sunatullah itu diciptakan Allah atau Tuhan, kalau Hawking berpendapat ada dengan sendirinya. Nah justru di sini Hawking justru membantu agamawan dengan teori ilmiah soal sunatullah itu sendiri. Dia lebih maju karena punya bukti teori ilmiah bukan cuma modal omongan dalam ceramah saja.
Fisikawan besar dan legendaris Albert Einstein juga sependapat mengenai hubungan baik sains dan agama yang harusnya saling melangkapi. Dia mengatakan “Science without religion is lame, religion without science is blind”. Para fisikawan baru pun banyak yang menemukan hubungan antara sains dan spiritualitas, misalkan saja Fisikawan Fritjof Capra. Capra melihat pertentangan sains dan agama ini karena pikiran kita masih terbingkai dalam paradigm modern warisan Descartes, di mana kita selalu melihat dua hal itu beroposisi biner, berlawan-lawanan.
Maka Capra menawarkan paradigma Holistik sebagai solusi. Dia melihat ada hubungan atas semua hal. Ada hidden connection dalam semua hal. Ini yang harus dicari. Gak perlu berantem, bukan jamannya lagi mempertentangkan sains dan agama. Jika anda masih melakukannya anda sebenarnya ketinggalan jaman.
Sumber : dianwidiyanarko.com
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !